Bagikan:

JAKARTA - Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi mengungkapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan perlu memberikan jaminan hak atas perlindungan hukum bagi dokter dan seluruh tenaga kesehatan.

"Ini sangat krusial. Era sekarang adalah era litigious, atau era di mana pasien semakin teredukasi, sehingga tuntutan kepada dokter dan tenaga kesehatan sangat tinggi," kata Adib Khumaidi dalam Dialog Transformasi Layanan Kesehatan Indonesia-RUU Kesehatan yang diikuti dari Youtube FMB9 di Jakarta, Senin 3 April, disitat Antara.

Adib mengungkapkan, hal tersebut menyikapi sembilan Undang-Undang (UU) eksisting yang kini terdampak oleh kebijakan RUU Kesehatan Omnibuslaw, di antaranya UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan.

"Begitu banyak pengacara bicara ke kami, banyak sekali pekerjaan mereka karena banyak pasien yang banyak menuntut. Apakah RUU ini memberikan perlindungan hukum pada tenaga medis dan kesehatan?" katanya.

Adib mengatakan, pembuatan undang-undang harus mengacu pada kunci pokok, yakni antidiskriminatif dan berkeadilan sosial. Tapi, dalam RUU Kesehatan pada pasal 326, 327, 328 yang mengatur tentang norma perlindungan hukum bagi kalangan tenaga medis, masih bersifat abstrak.

"Kalau RUU ini antidiskriminatif, ini kami iri. Sebab UU advokat memberikan hak imunitas kepada profesi advokat, UU notaris memberikan hak imunitas terhadap notaris, dan UU MPR/DPR juga memberikan hak imunitas," katanya.

Dikatakan Adib, saat ini ada tiga tuntutan yang bisa dialami profesi dokter dan tenaga kesehatan, yakni tuntutan dari Majelis Kehormatan Disiplin, tuntutan yang muncul dari kasus di KUHP, dan tuntutan perdata.

Jika dokter dan tenaga medis tidak dijamin hak perlindungan hukum oleh UU, kata Adib, yang akan terjadi adalah para tenaga medis akan melakukan upaya kesehatan berbiaya tinggi, melalui skrining kesehatan pasien secara menyeluruh untuk menghindari kesalahan pelayanan.

"Semuanya akan diperiksa supaya aman. Kalau tidak, bisa terjadi kesalahan, maka dokter akan mendapat tuntutan. Kami lakukan pola defensif medicine," katanya.

Adib mengatakan, pemeriksaan kesehatan pasien secara menyeluruh hingga saat ini masih kontradiktif dengan kebijakan JKN yang mengharuskan tenaga medis menjalankan prosedur clinical pathway atau jalur perawatan melalui analisa dan pemeriksaan fisik yang disesuaikan dengan prosedur Pedoman Praktik Klinis (PPK) untuk mengukur efisiensi biaya.

"Ini kontradiktif dengan program JKN yang saat ini standar pelayanan kesehatannya minimal. Semuanya (penyakit yang berhubungan) tidak diperiksa. Ini perlu jadi perhatian, pembuatan RUU jangan terburu-buru, mari bicarakan kepentingan masyarakat dan nakes yang melayani kesehatan," pungkasnya.