JAKARTA - Tingkat imunisasi polio pada anak dinilai anjlok pada masa pandemi COVID-19 dan hal itu memicu terjadinya kasus luar biasa (KLB) di sejumlah daerah pada saat ini.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Siti Nadia Tarmizi mengemukakan cakupan imunisasi polio yang anjlok selama pandemi jadi pemicu KLB.
"KLB polio terjadi, karena sejak pandemi COVID-18 di tahun 2020, 2021, 2022, cakupan imunisasi dasar lengkap turun ke 40--50 persen. Selama berpuluh puluh tahun, itu 80--90 persen," katanya usai menghadiri agenda Penghargaan Penanganan Pandemi COVID-19 dikutip ANTARA, Senin 20 Maret.
Ia menjelaskan bahwa Indonesia telah memasuki tahap eradikasi polio, di mana angka kasus harus ditekan sampai nol di seluruh daerah.
Namun akibat cakupan imunisasi polio yang turun, mengakibatkan imunitas kelompok yang telah dibangun berpuluh tahun lewat imunisasi rutin, kian melemah.
Kemenkes melaporkan, saat ini terdapat sejumlah kasus polio di Indonesia, di antaranya satu kasus di Purwakarta, Jawa Barat, dan tiga kasus di Pidie, Aceh.
"Pada 2020, Indonesia masih aman, karena herd immunitynya masih ada. di 2021 sudah turun, di tambah lagi ada anak baru yang lahir dan belum divaksinasi," katanya.
Pada tahun 2023 ini Kemenkes kembali menggencarkan program Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) dan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
Kemenkes telah menyusun strategi untuk menggalakkan imunisasi rutin pada anak guna memberikan perlindungan dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
Pertama, menambah tiga jenis imunisasi rutin pada anak yang sebelumnya 11 vaksin, termasuk polio, menjadi 14 vaksin. Vaksin yang ditambahkan adalah vaksin Rotavirus untuk anti diare dan vaksin PCV untuk anti pneumonia yang ditargetkan untuk anak, serta vaksin HPV untuk mencegah kanker serviks.
Vaksin itu diberikan untuk anak kelas 5 dan 6 SD untuk mencegah potensi kanker serviks saat anak menjadi dewasa.
Target akselerasi program BIAN dan BIAS di Pulau Jawa-Bali mencapai 90 persen. Khusus di luar Jawa-Bali, berkisar antara 80 persen peserta.
"Kami lihat dulu cakupan vaksinasinya. Yang pasti kalau ada KLB langsung outbreak respons immunization (ORI), jadi seluruh anak langsung diberi vaksinasi," katanya
Salah satu tantangan yang masih dihadapi dalam program BIAN dan BIAS adalah penolakan dari keluarga, seperti ketakutan pada efek samping, isu halal dan haram produk vaksin.
BACA JUGA:
"Sebagian besar vaksin memang halal, tapi ada campuran measles rubella (MR) itu yang belum ada fatwanya. karena memang gak tersedia jenis vaksinnya," katanya.
Selain itu ada juga informasi yang salah tentang vaksin untuk anak, di antaranya mengenai gambar hoaks dan lain sebagainya, demikian Siti Nadia Tarmizi.