JAKARTA - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja, menyebut isu penundaan Pemilu 2024 yang kembali mencuat pasca putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) merupakan persoalan besar bagi penyelenggara pemilu.
"Kita punya persoalan besar pada hari ini. Persoalan kita, bagaimana menganggap putusan pengadilan dalam proses pemilu, ini masih jadi perdebatan," ujar Rahmat Bagja dalam seminar Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang disiarkan kanal YouTube DPR RI Jumat, 17 Maret.
Menurut Bagja, putusan PN Jakpus memberikan banyak hal dalam pemikiran Bawaslu dan KPU sebagai penyelenggara pemilu. Khususnya menyangkut transparansi dan akuntabilitas Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu.
"Kalau tidak dianggap itu putusan pengadilan, tapi kalau kita melaksanakan itu juga persoalan besar, dalam sistem penegakan hukum pemilunya," kata Bagja.
Selain itu, Bagja menilai, isu penundaan pemilu yang terus digoreng ini juga akan memunculkan sikap pesimis dari masyarakat. Hingga akhirnya timbul persepsi untuk tidak berpartisipasi karena pemilu dianggap tidak jadi digelar.
"Bagaimana masyarakat percaya jika kemudian isu ini selalu digoreng terus? Tunda, tidak, tunda, tidak, lama-lama masyarakat ini (berpikir) 'nggak jadi ini pemilu'," ucapnya.
Bagja meyakini apabila pemilu ditunda maka tudingan pertama pasti menyasar ke penyelenggara yakni KPU, Bawaslu, hingga DKPP. Oleh karena itu, menurutnya, para penyelenggara pemilu harus tetap mengawasi agar pemilu dapat tetap berjalan.
"Begitu tidak jadi maka tunjuk tudingan pertama adalah kepada penyelenggara pemilu itu saya yakin. Tudingan pertama dan tidak berhasilnya pemilu adalah kepada penyelenggara Pemilu. Ini yang perlu dijaga oleh KPU dan kami di Badan Pengawasan Pemilu," jelas Bagja.
"Karena kalau jadi tunda ataupun pemilu gagal yang disalahkan pasti KPU dan Bawaslu berikut DKPP," imbuhnya.
Bagja menegaskan, penyelenggaraan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali sehingga isu penundaan tentu bertentangan dengan aturan yang berlaku.
"Pemilihan umum dalam Undang-Undang Dasar dinyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan melalui proses yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, catatannya dan dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Jadi isu penundaan tentu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar," kata Bagja.
BACA JUGA:
Inilah, tambah Bagja, yang menjadi persoalan ke depan mengenai anggapan bagaimana tiga kekuasaan puncak negara itu saling mengawasi, baik kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
"Alhamdulillahnya penyelenggara pemilu di tengah-tengah di antara situ, yang kadang bisa digeser, akhirnya digeser ke legislatif bahkan dihentakkan oleh kekuasaan yudikatif," pungkasnya.