JAKARTA - Komisi II DPR mengkritik KPU yang dinilai terlalu menganggap enteng menyikapi gugatan-gugatan pemilu yang berujung pada putusan PN Jakpus. Bahkan, Komisi II DPR pesimis terhadap upaya banding KPU terkait sanksi penundaan pemilu.
"Saya kecewa dengan KPU, karena hasil pengamatan, penelusuran, mencermati kerja-kerja KPU dalam menyikapi gugatan-gugatan ini, saya melihat terlalu anggap enteng," ujar Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart dalam Rapat Kerja (Raker) bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 15 Maret.
Junimart pun menyoroti Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) yang sempat down. Dia menilai KPU kurang teliti sehingga mudah untuk digugat.
"Ini kurang cermat KPU-nya ya kan, demikian juga di keputusan Bawaslu 002, tidak secara full, tidak secara penuh KPU itu menjalankan putusan itu. Contoh misalnya, bahwa SIPOL itu disebutkan ya tidak aktif bahkan ada masa down, ini bagaimana KPU? Betul nggak down itu? Ternyata mereka bisa buktikan betul down, gitu," kata Junimart.
Junimart mempertanyakan dasar upaya banding yang dilayangkan KPU terhadap putusan PN Jakpus. Dia mengaku pesimis dengan langkah KPU tersebut.
"Kalau membaca sepintas mengenai pertimbangan dan dasar untuk banding ini, mohon maaf saya pesimis Pak. Kenapa? Karena kita melulu bicara mengenai kompetensi absolut, melulu kita bicara itu, padahal di awal sudah dimohonkan ya kan dalam putusan sela dan itu sudah ditolak Pak," katanya.
Legislator PDIP itu lantas mempertanyakan ahli-ahli hukum di belakang KPU untuk menangani masalah ini. Sebab menurutnya, gugatan Partai Prima ke KPU berdampak ke semua pihak.
"Kerja-kerja KPU sebagai penyelenggara pemilu, semua terganggu Pak. Kecuali tadinya kalau si penggugat ini menggugat partai-partai lain, baru namanya erga omnes namanya Pak. Ini bagaimana KPU menyikapi ini? siapa ahli-ahli hukum dari KPU, kita juga mau tahu," tanya Junimart.
Menurutnya, yang berwenang untuk menghasilkan putusan itu adalah PTUN. Namun mengapa, salah satu hasil keputusannya justru menyebut bukan kewenangan PTUN untuk memutuskan keputusan sengketa pemilu.
"Kalau kita katakan ini sengketa pemilu, sengketa tahapan, dan selalu melulu bicara mengenai pemilu. Sudah jelas, kalau sengketa pemilu itu ke Bawaslu dan PTUN, tetapi dalam putusan 425, salah satu amar yang mengatakan tidak menjadi kewenangan PTUN. Nah, kan begitu," jelasnya.
Junimart mengaku kaget dengan sejumlah gugatan ke KPU yang tidak diketahui Komisi II. Padahal, kata dia, Komisi II adalah mitra kerja penyelenggara pemilu ini.
"Kami bahkan ini tidak pernah tahu bahwa ada gugatan, ada di Bawaslu, ada di PTUN, kami tidak pernah tahu ini Pak. Coba, iya kan, kami hanya tahu kalau KPU, penyelenggara mengajukan anggaran pak, kami nggak pernah tahu ini pak, kita kaget semua Pak," katanya.
KPU lantas mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintahkan KPU menghentikan tahapan Pemilu 2024.
Banding ini merujuk pada perkara gugatan Partai Prima yang dinyatakan tidak lolos tahapan verifikasi administrasi oleh KPU. Gugatan Partai Prima menang di PN Jakpus.
Anggota KPU Mochammad Afifuddin menegaskan pengajuan memori banding ini merupakan keseriusan KPU dalam menyikapi persoalan hukum dengan Prima.
Sebagaimana diketahui, KPU juga dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) oleh KAMMI karena dianggap meremehkan gugatan Prima di PN Jakpus.
"Pernyataan Banding yang dilakukan oleh KPU terhadap Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst sebagai bentuk keseriusan KPU dalam menghadapi dan menyikapi Gugatan yang diajukan oleh Prima," kata Afif kepada wartawan, JUmat, 10 Maret.
Saat ini, lanjut Afif, KPU menunggu putusan dari Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap Banding yang diajukan.