Tahukah Kamu Apa Arti Efikasi 65,3 Persen Vaksin Sinovac? Kenapa 'Kalah' dari Pfizer dan Moderna?
ILUSTRASI (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebutkan, hasil uji klinis tahap III, vaksin COVID-19 buatan perusahaan farmasi asal China, Sinovac memiliki efikasi atau tingkat keampuhan vaksin corona Sinovac sebesar 65,3 persen. Atas dasar ini pula, BPOM resmi mengeluarkan izin penggunaan darurat vaksin COVID-19 atau emergency use authorization (EUA)  

Namun tahukah kamu apa arti efikasi 65,3 persen tersebut, bagaimana cara menghitungnya, serta kenapa efikasi Sinovac lebih rendah ketimbang kompetitor Pfizer dan Moderna yang menyentuh angka 90 persen? 

Begini nih penjelasan Prof DR Zullies Ikawati, Apt, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM). 

Menurut dia, Vaksin dengan efikasi atau kemanjuran 65,3 persen dalam uji klinik berarti terjadi penurunan 65,3 persen kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi (atau plasebo). 

"Dan itu didapatkan dalam suatu uji klinik yang kondisinya terkontrol," kata Zullies Ikawati dalam pesan elektronik yang diterima redaksi VOI, Selasa, 12 Januari. 

Misalnya pada uji klinik Sinovac di Bandung yang melibatkan 1600 orang. Terdapat 800 subyek yang menerima vaksin dan 800 subyek yang mendapatkan placebo (vaksin kosong). Jika dari kelompok yang divaksin ada 26 yang terinfeksi (3.25%), sedangkan kelompok placebo ada 75 orang yang kena Covid (9.4%). 

"Maka efikasi dari vaksin adalah 0.094 – 0.0325/0.094 x 100% = 65.3%. Jadi yang menentukan adalah perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak," terang dia. 

Efikasi akan dipengaruhi dari karakteristik subyek ujinya. Jika subyek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok placebo akan lebih banyak yang terpapar, sehingga perhitungan efikasinya menjadi meningkat. 

Nah, uji klinik di Brazil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga Kesehatan, sehingga efikasinya diperoleh lebih tinggi. Sedangkan di Indonesia menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil. 

"Jika subyek ujinya berisiko rendah, apalagi taat dengan prokes, tidak pernah keluar rumah sehingga tidak banyak yang terinfeksi, maka perbandingan kejadian infeksi antara kelompok placebo dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah, dan menghasilkan angka yang lebih rendah," jelas dia. 

Menurut Zullies Ikawati, saat BPOM mengumumkan hasil efikasi Sinovac sebesar 65,3 persen adalah awal yang baik meski ada suara miring yang mempertanyakan, kenapa hanya 65,3 persen. 

Tetapi organisasi kesehatan kesehatan, World Health Organization (WHO), Food and Drug Administration (FDA) dan European Medicines Agency (EMA) telah menetakan persetujuan vaksin di angka 50 persen. Artinya, secara epidemiologi, menurunkan kejadian infeksi sebesar 50%  sudah sangat berarti dan menyelamatkan hidup banyak orang. 

"Apalagi disampaikan juga tadi bahwa vaksin memiliki imunogenisitas yang tinggi dengan angka seropositive mencapai 99,23 % pada 3 bulan pertama, yang berarti dapat memicu antibody pada subyek yang mendapat vaksin," jelas dia. 

"Tentu kita masih harus menunggu efektivitas vaksin setelah dipakai di masyarakat. Dan perlu diingat bahwa karena ini baru EUA yang berasal dari interim report, pengamatan terhadap efikasi dan safety masih tetap dilakukan sampai 6 bulan ke depan untuk mendapatkan full approval," demikian.