Bagikan:

MALANG - Majelis Dewan Guru Besar (MDGB) Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) meminta pemerintah meninjau ulang pemberian gelar profesor kehormatan kepada kalangan nonakademik.

"Seorang profesor (guru besar) itu memiliki kewajiban-kewajiban, khususnya kewajiban tridharma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat," kata Ketua MDGB PTNBH periode 2022-2023 Prof. Harkristuti Harkrisnowo di sela Sidang Paripurna MDGB PTNBH di Malang, Jawa Timur, Kamis, 16 Maret.

Karena itu, lanjutnya, pemberian gelar profesor kehormatan tersebut, perlu ditinjau kembali, antara lain tentang bagaimana kriterianya, persyaratan yang juga harus diperketat dan diatur kembali dengan lebih baik.

Dia menilai proses pemberian gelar profesor kehormatan ini harus ada peninjauan kembali terhadap ketentuan pemberiannya.

"Sebab, kalau mereka (penerima gelar profesor kehormatan, red.) tidak melakukan kewajiban-kewajiban sebagai seorang guru besar, gelar itu bisa dicabut," ucapnya.

Majelis Dewan Guru Besar sepakat segera memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk meninjau ulang aturan terkait dengan pemberian gelar profesor kehormatan.

"Dalam waktu dekat, peninjauan kembali terhadap ketentuan ini akan kami usulkan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek)," katanya.

Bagi seorang akademisi, lanjutnya, butuh perjuangan yang panjang untuk dapat memperoleh gelar profesor tersebut.

"Kami merasa untuk menjadi profesor itu kan berdarah-darah dan harus memenuhi persyaratan yang tidak mudah serta dedikasi yang tinggi," kata dia.

Dia  mengaku khawatir jika pemberian gelar profesor kehormatan diteruskan, ke depan bisa saja gelar profesor bakal diberikan kepada orang yang bahkan tidak pernah menempuh pendidikan formal yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pendidikan di Tanah Air.

"Saat ini, memang persyaratan untuk mendapatkan gelar kehormatan nggak ribet. Kami sepakat yang menjadi anggota PTNBH ini bisa menyampaikan di fakultas masing-masing agar tidak mencederai dunia pendidikan itu sendiri," katanya.

Pemberian gelar profesor kehormatan dituangkan dalam Permendikbudristek 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. Peraturan menteri ini melaksanakan ketentuan Pasal 72 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Gelar profesor kehormatan merupakan jenjang jabatan akademik profesor pada perguruan tinggi yang diberikan sebagai penghargaan kepada setiap orang dari kalangan nonakademik yang memiliki kompetensi luar biasa.

Setiap orang yang memiliki kompetensi dan/atau prestasi luar biasa dapat diangkat oleh menteri sebagai profesor kehormatan pada perguruan tinggi atas usul pemimpin perguruan tinggi. Syarat perguruan tinggi pengusul adalah memiliki peringkat akreditasi A atau unggul dan menyelenggarakan program studi program doktor atau doktor terapan sesuai dengan bidang kepakaran calon profesor kehormatan dengan peringkat akreditasi A atau unggul.

Mereka yang dapat diangkat menjadi profesor kehormatan sesuai permendikbudristek tersebut, memiliki kualifikasi akademik paling rendah doktor, doktor terapan atau kompetensi yang setara dengan jenjang sembilan pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.

Selain itu, memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan luar biasa, memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional, dan berusia paling tinggi 67 tahun.