JAKARTA - Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Syahrullah Iskandar menilai jangan jadikan mimbar agama sebagai media penggiringan untuk politik Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA).
“Ini penting agar mimbar agama tidak dijadikan pemenuhan syahwat politik kekuasaan,” kata Syahrullah dalam keterangannya dikutip ANTARA, Jumat, 24 Februari.
Dia menilai menjadikan masjid sebagai media penggiringan dukungan politik dalam varian bentuk, adalah hal yang tidak boleh dibiarkan karena akan menimbulkan disintegrasi sosial.
Karena itu menurut dia, biarkan rumah ibadah digunakan sesuai fungsinya yaitu sebagai perekat masyarakat.
Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta itu menilai argumentasi pembenaran menggunakan mimbar masjid sebagai sarana penggiringan politik sebagaimana fungsi masjid di masa Rasulullah SAW adalah benar.
“Namun, situasi sosial kekinian cukup berbeda, mimbar agama sering kali dijadikan sarana politik hanya untuk kepentingan kekuasaan dan kepentingan duniawi,” ujarnya.
Syahrullah menjelaskan ketika umat beribadah, pasti berorientasi untuk akhirat dan isi khotbah seharusnya mengingatkan dan memotivasi untuk kebaikan, bukan menciptakan perselisihan dan ketidaknyamanan.
Pengasuh Pesantren Pascatahfizh Bayt al-Qur’an–PSQ Jakarta itu menjelaskan, sejatinya politik yang mengedepankan identitas masing-masing dan menjadikannya sebagai acuan dalam kontestasi politik adalah hal yang wajar.
“Tetapi jika lebih pada menjadikan identitas kesukuan, ras, agama, dan semacamnya sebagai acuan dasar dalam pilihan politik, maka politik identitas itu berpotensi mempolarisasi masyarakat,” katanya.
Dia menilai hal negatif yang bisa ditimbulkan adalah potensi konflik berbasis SARA, yang ujungnya bisa membuat masyarakat terpolarisasi berdasarkan identitas tersebut yang dapat bermuara pada disintegrasi sosial.
Syahrullah juga menjawab tudingan sekulerisme yang dilancarkan kelompok yang kontra terhadap isu penolakan politik identitas pada konstestasi Pemilu 2024.
Dalam konteks itu menurut dia, tidak ada pemisahan agama dari persoalan politik, karena berpolitik juga harus mengedepankan moralitas dan visi kebersamaan dan persatuan.
“Jika mau tegas, politik identitaslah yang justru menjauhkan nilai kebersamaan dan persatuan dalam konteks bernegara,” katanya.
Wakil Sekjen Pengurus Besar Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI) itu menilai berpolitik adalah bagian dari bernegara itu sendiri, dan agama selalu ada di dalamnya tetapi tidak harus dalam bentuk formalnya.
Menurut dia, semua berupaya untuk meraih kemenangan, namun harus tetap dalam koridor taat aturan bersama, dan di konteks masyarakat yang majemuk, proses politik adalah sebuah keniscayaan.
“Berpolitik itu sarana untuk meraih kemaslahatan bangsa dan negara. Karena tujuannya mulia, maka cara yang digunakan pun harus baik,” katanya.
Dia menilai untuk menghindari rumah ibadah dijadikan panggung politik, diperlukan sosialisasi yang intens kepada pengurus rumah ibadah, dan para penceramah juga harus lebih memprioritaskan pada kemaslahatan umat.
BACA JUGA:
“Pengurus rumah ibadah, harus selektif dan mengingatkan kepada penceramah, narasumber yang bertugas agar menghindari uraian atau paparan yang menggiring pada pilihan politik tertentu, baik secara lugas maupun terselubung,” ujarnya.
Selain itu, Syahrullah menilai perlu pelibatan tokoh agama, tokoh masyarakat dan segenap ormas kemasyarakatan untuk menciptakan suasana yang kondusif. Menurut dia, masyarakat harus diberikan edukasi tentang peran sosial masing-masing dalam kontestasi Pemilu 2024.