Sudah Sepekan Kasus Baru COVID-19 di Jatim Bertambah 700 Setiap Hari
ILUSTRASI/VOI

Bagikan:

SURABAYA - Penambahan kasus COVID-19 di Jawa Timur mencapai 700 orang per hari. Penambahan kasus baru ini bertahan selama sepekan terakhir.

Berdasarkan data Gugus Tugas COVID-19 Jatim, jumlah penambahan kasus mencapai 700 per hari dalam sepekan terakhir di Jatim. Misalnya 935 kasus COVID-19 baru per Kamis, 31 Desember 2020, kemudian ada tambahan 887 kasus baru per Jumat, 1 Januari.

Setelahnya, ada penambahan 723 kasus per Sabtu, 2 Januari  Kemudian penambahan kasus baru COVID-19 di Jatim sempat melandai 599 kasus per Minggu, 3 Januari 2021. Namun, penambahan kasus baru meroket lagi sebanyak 709 pada Senin, 4 Januari.

Pada Selasa, 5 Januari, ada penambahan 727 kasus baru. Ada penambahan 845 kasus baru per Rabu, 6 Januari dan terus meningkat 857 kasus baru COVID-19 per hari ini, Kamis, 7 Januari. 

"Makanya kami akan terus meningkatkan kapasitas rawat bagi pasien COVID-19. Di sisi lain, kami juga terus berupaya mengendalikan angka penyebaran COVID-19," kata Wakil Gubernur Jatim, Emil Elistianto Dardak, di Surabaya, Kamis, 7 Januari.

Tak hanya itu, kasus kematian akibat COVID-19 di Jatim di hari yang sama juga mencatatkan rekor baru, bertambah 68 kasus dan menjadi yang tertinggi secara nasional. Selanjutnya di posisi kedua adalah Jawa Tengah 47 kasus, dan DKI Jakarta 21 kasus.

Dengan penambahan tersebut, jumlah total kematian pasien positif COVID-19 di Jatim sebanyak 6.241 orang. Jumlah itu juga yang tertinggi dibanding provinsi lain di Indonesia, disusul Jateng 3.935 kasus dan DKI Jakarta 3.403 kasus.

"Kami mengimbau kepada masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan (prokes) covid-19. Karena hanya dengan cara disiplin prokes yang efektif mencegah penularan COVID-19," kata Emil. 

Sedangkan yang terkonfirmasi sembuh bertambah 857 menjadi 77.102 orang. Angka kesembuhan itu juga yang tertinggi setelah DKI Jakarta sebanyak 176.736 orang dan Jabar 78.729 orang.

Whisnu Sakti Sempurnakan Perwali soal PSBB Jawa-Bali

Sementara itu, Plt Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana, menyatakan akan mengubah Perwali No. 67 Tahun 2020, yang isinya hampir sama dengan intruksi pusat terkait PSBB Jawa-Bali. Langkah ini upaya agar Surabaya tidak menerapkan PSBB total.

"Tinggal mengubah sedikit di Bab V Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Yang jelas Perwali 67 ini tetap mengacu pada Mendagri atau keputusan di atasnya. Sehingga kalau ada keputusan lagi di atasnya, kita tidak perlu merubah lagi Perwalinya," kata Whisnu, di Surabaya, Kamis, 7 Januari..

Menurut Whisnu, Perwali 67 itu akan disesuaikan dengan beberapa poin yang ada di dalam instruksi Mendagri. Di antaranya, work from home (WFH) 75 persen, tempat perbelanjaan atau mal harus tutup pukul 19.00 WIB.

Sementara aktivitas lain tetap dibatasi sampai pukul 22.00 WIB, dan membatasi kapasitas pengunjung restoran 25 persen, yang selama ini diatur Perwali maksimal 50 persen. 

Selain itu, akan menggencarkan sweeping kesiapan rumah makan, sehari jelang penerapan PSBB tanggal 11 Januari nanti. 

"Kita sudah siapkan juga itu nanti H-1 mungkin akan kita sweeping pada seluruh tempat restoran dan rumah makan itu untuk mengecek kesiapan pemberlakuan PSBB tgl 11 Januari nantinya," katanya.

Whisnu pun mengimbau agar warga Surabaya tidak trauma terkait PSBB. Sebab, kata dia, sebenarnya PSBB ini sudah hampir sama, dengan keadaan Surabaya sehari-hari yang sudah memasuki new normal. Artinya, kegiatan ekonomi tetap jalan tapi protokol kesehatan tetap diperketat sehingga ada beberapa perbedaan sedikit.

"Kita nanti akan aktifkan kembali kampung tangguh. Kita reaktivasi kembali sehingga bantuannya bisa kita turunkan untuk masyarakat," ujarnya.

Whisnu menyatakan akan berupaya agar PSBB tidak diterapkan di Surabaya, salah satunya dengan diskresi. Dia juga akan mempertanyakan alasan pengetatan dari pemerintah pusat diberlakukan  hanya untuk Surabaya Raya dan Malang Raya.

"Bisa nggak Surabaya lepas dari diskresi ini atau memang kalau harus diterapkan tidak hanya di Surabaya Raya dan Malang Raya, tapi juga di daerah-daerah yang zona merah. Karena kondisi Surabaya ini menangani pasien 50 persen bukan warga Surabaya, sehingga ini harus lebih menyeluruh penerapannya," katanya.