Belum 2 Bulan, Sudah 86 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual di Sekolah Tahun 2023
Ilustrasi kekerasan seksual hingga pencabulan. (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Tahun 2023 baru berjalan sekitar satu setengah bulan. Namun, ternyata sudah ada 10 kasus dugaan kekerasan seksual di sekolah atau satuan pendidikan, berasrama maupun tidak, dengan 86 anak sebagai korban.

Hal ini berdasarkan pencatatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dari awal bulan Januari hingga 18 Februari 2023.

Sembilan (9) kasus tercatat sudah dilaporkan kepada pihak kepolisian dan semua dalam proses penanganan oleh kepolisian, sedangkan 1 kasus di Gunung Kidul diselesaikan dengan memindahkan kelas mengajar dan pengurangan jam mengajar oknum guru pelaku.

Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti menjelaskan, sebanyak 50 persen kasus kekerasan seksual terjadi dijenjang SD/MI, 10 persen di jenjang SMP, dan 40 persen di Pondok Pesantren.

"Dari 10 kasus tersebut, 60 persen satuan pendidikan tersebut di bawah kewenangan Kementerian Agama dan 40 persen dibawah kewenangan Kemendikbudristek," kata Retno dalam keterangannya, Minggu, 19 Februari.

Retno merincikan, pelaku kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan ada 10 orang, semuanya laki-laki. Adapun status pelaku, yaitu Pimpinan Ponpes dan Guru sebagai pelaku merupakan jumlah terbesar, yaitu masing-masing sebanyak 40 persen, Kepala Sekolah dan Penjaga sekolah masing-masing 10 persen.

Sedangkan korban total 86 anak, baik laki-laki maupun perempuan. Anak korban laki-laki sebanyak 37,20 persen dan korban anak perempuan mencapai 62,80 persen,” urai Retno.

"Kekerasan seksual terhadap anak yang berbasis daring pada tahun 2023 ada 1 kasus dan 9 kasus dilakukan secara luring oleh pelaku," ujar dia.

Adapun wilayah kejadian berada di 5 provinsi dan 10 kabupaten/kota, yakni Kabupaten Mesuji, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Utara, dan Lampung Barat di Provinsi Lampung; Kabupaten Batang dan Kota Semarang di Jawa Tengah; Kabupaten Gunung Kidul di DI Yogyakarta; Kabupaten Jember di Jawa Timur; serta Kota Jakarta Timur di DKI Jakarta.

“Data tersebut menunjukan bahwa 50 persen kasus KS di satuan pendidikan terjadi di provinsi Lampung, hal ini tentunya memerlukan pendalaman lebih jauh terkait faktor sebab akibatnya dan upaya menanggulanginya. Sedangkan 20 persen terjadi di Jawa Tengah dan 10 persen masing-masing terjadi di DIY, Jawa Timur, dan DKI Jakarta”, jelasnya.

Lebih lanjut, FSGI menyoroti kasus-kasus kekerasa seksual yang terjadi di satuan pendidikan berasrama berbasis agama. FSGI menilai bahwa relasi kuasa antara tokoh agama dan santrinya melekat kuat di pesantren.

Nilai-nilai ketakziman santri untuk memperoleh keberkahan guru dan semua perkataan kiai atau ustadnya merupakan sesuatu yang harus dilakukan jika tidak akan mengurangi keberkahan maupun syafaat.

“Sehingga, pelaku biasanya dianggap memiliki kebenaran hakiki baik ucapan maupun tindakannya. Hingga hanya sedikit masyarakat yang mempercayai kebenaran peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban yang notabene masih di bawah umur," ucap Retno.

Atas dasar itu, Retno meminta pemerintah pusat maupun daerah memastikan bahwa, para pendidik yang menjadi pelaku kekerasan seksual pada anak didiknya harus dipidana, hal ini untuk mendorong adanya efek jera sekaligus tidak ada anak yang menjadi korban lagi.

Selain itu, Kata Retno, FSGI mendorong Kemendikbudristek dan Kementerian Agama melakukan sosialisasi secara masif dan implementasi dari regulasi yang mengatur pencegahan serta penanganan tindak kekerasan di satuan pendidikan.