JAKARTA - Upaya pemerintah menurunkan angka stunting di Indonesia memang perlu diikuti dengan upaya masyarakat dalam meningkatkan kadar gizi pada asupan harian mereka.
Muncul kekhawatiran susu kental manis (SKM) menjadi salah satu penyebab stunting karena memiliki kadar gula tinggi dan gizi yang rendah. Benarkah begitu?
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, pemenuhan gizi memang tidak dapat dipenuhi oleh SKM. Namun, ketika anak mengalami stunting, bukan berarti faktornya hanya karena konsumsi SKM.
"Terkait penyebab stunting karena pola makan, mungkin bisa dicek kembali. Salah satu studi yang dilakukan oleh FKUI adalah anak balita diberi makan nasi dengan lauk kentnag goreng, mie instan, kuah bakso, dan susunya kental manis," kata Nadia kepada wartawan, Kamis, 16 Februari.
Nadia menerangkan, susu kental manis adalah produk susu yang memiliki karakteristik kadar lemak susu tidak kurang dari 8 persen dan kadar protein tidak kurang dari 6,5 persen
Atas dasar itu, kadar gula yang cukup tinggi pada suatu produk susu kental manis harus menjadi perhatian masyarakat. Sebab, sesuai peraturan Kemenkes, batas kadar gula pada SKM maksimum sampai 50 gram.
"Sebenarnya sudah ada beberapa kali sosialisasi dari BPOM juga bersama Kemenkes dan dokter gizi. Jadi, SKM bukan suatu bentuk minuman tetapi pelengkap sajian. Kemudian, SKM tidak dapat meggantikan ASI dan tidak cocok untuk bayi sampai usia 12 bulan," papar Nadia.
BACA JUGA:
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan masalah kekerdilan pada anak atau stunting bukan hanya urusan tentang tinggi badan, tetapi juga kemampuan kognitif dan kekebalan tubuh pada anak.
"Dampak stunting ini bukan hanya urusan tinggi badan, tetapi yang paling berbahaya adalah rendahnya kemampuan anak untuk belajar, keterbelakangan mental, dan munculnya penyakit-penyakit kronis yang gampang masuk ke tubuh anak," kata Jokowi saat membuka Rapat Kerja Nasional Program Bangga Kencana (Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana) dan Penurunan Stunting di Jakarta, Rabu 25 Januari.
Jokowi menginstruksikan target menurunkan angka stunting menjadi 14 persen di 2024 harus bisa dicapai. Dengan kerja bersama, kata dia, pencapaian target tersebut tidaklah sulit.
"Asal semuanya bekerja bersama-sama. Karena kita kalau di ASEAN ini (peringkat stunting) masih berada di tengah-tengah; 21,6 persen itu di tengah-tengah, tapi nanti kalau sudah masuk ke 14 persen baru kita berada di bawahnya Singapura sedikit," tuturnya disitat Antara.
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan, persentase stunting tertinggi terjadi di lima provinsi, yakni Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Aceh, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tenggara. Namun, jika dihitung secara jumlah, persentase terbanyak ada di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Banten.
Presiden mengingatkan, jumlah balita di Tanah Air tidak sedikit, yakni mencapai 21,8 juta. Namun, jumlah pos pelayanan terpadu (posyandu) dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di Indonesia belum merata, dengan jumlah 300.000 posyandu dan 10.200 puskesmas.
Jika infrastruktur kesehatan bisa digerakkan dengan betul, katanya, maka persoalan stunting akan mudah diselesaikan.
"Problem-nya, puskesmas tidak tersebar merata di seluruh Tanah Air. Ada satu kecamatan (punya) tujuh (puskesmas), satu kecamatan (punya) dua (puskesmas). Pemerataan ini yang perlu dilihat," ujarnya.