Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, menyetujui revisi keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang diusulkan Komisi III DPR. 

Mahfud mengungkapkan, sebenarnya pemerintah sempat ingin menolak revisi UU MK setelah mendengarkan masukan dari sejumlah praktisi hingga akademisi. Namun, dia mengatakan, pemerintah menghormati hak konstitusional DPR untuk mengusulkan revisi UU. 

"Sebenarnya pemerintah tidak memiliki agenda untuk melakukan revisi kembali atas UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi," ujar Mahfud di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 15 Februari. 

"Diskusi yang kami undang para akademisi secara terpisah dengan para praktisi, pada umumnya meminta agar pemerintah menolak usul ini. Tetapi, karena DPR RI berdasarkan hak dan kewenangan konstitusionalnya telah mengajukan usul inisiatif perubahan undang-undang tersebut, dan ini sudah sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Maka pemerintah akan menggunakan kesempatan ini untuk menawarkan alternatif melalui daftar inventarisasi masalah (DIM) yang menurut pemerintah merupakan upaya perbaikan dari keadaan yang sekarang. Artinya pemerintah menyetujui usul ini untuk dibahas," paparnya. 

Mewakili presiden, Mahfud menyampaikan pandangan pemerintah atau presiden atas RUU perubahan keempat UU 24/2003 tentang MK. Bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar utama bagi terselenggaranya negara hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 1 Ayat 3 UUD NRI 1945.

MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang dijamin kemerdekaannya oleh pasal 24 Ayat 1 UUD NRI 1945, prinsip kekuasan kehakiman yang merdeka mengandung makna kekuasaan kehakiman harus bebas dari pengaruh kekuasan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna penegakan hukum dan keadilan

"Sehingga lembaga peradilan menghasilkan putusan yang objektif dan tidak memihak. Oleh karena itu,  pengaturan mengenai jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia, khususnya dalam konteks MK sebagai the soul interpreter and the guardian of the constitution mutlak diperlukan agar peran MK sebagai penafsir tunggal dan penjaga konstitusi dapat lebih optimal sesuai dengan harapan para pencari keadilan.

Di negara hukum modern atau modern constitutional state, lanjut Mahfud, ada dua prinsip dan menjadi prasyarat utama dalam sistem peradilannya. Pertama, the principle of judicial independents dan kedua the principle of judicial impartiality atau parameter kemandirian dari lembaga kekuasaan kehakiman dilihat dari lembaganya sendiri, proses peradilannya, serta hakimnya. 

Kedua, independensi lembaga peradilan mutlak diperlukan sebagai prasyarat untuk menegakkan rule of law dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, mutlak harus ada di setiap negara hukum. 

"Salah satu syarat dan ciri penting dalam negara hukum adalah adanya asas legalitas, artinya pemerintah bertindak berdasar semata-mata hukum yang berlaku, adanya jaminan perlindungan HAM, dan pemerintahan berdasar sistem konstitusi dan hukum dasar," jelas Mahfud. 

"Dengan adanya kemandirian kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan lain, maka MK dapat melakukan kontrol hukum terhadap cabang kekuasaan lainnya, untuk mencegah dan mengurangi kecenderungan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan, serta pengabaian hak asasi manusia agar terselenggara suatu sistem pemerintahan yang demokratis," pungkasnya. 

Sebelumnya, mewakili DPR, anggota Komisi III Habiburokhman menyampaikan empat pokok perubahan dalam revisi UU MK yang akan dibahas bersama pemerintah.

Pertama, perubahan terhadap persyaratan batas usia minimal hakim MK. Kedua, adanya evaluasi hakim konstitusi.

"Beberapa pokok materi penting dalam perubahan keempat Undang-Undang 24/2003 tentang MK antara lain, persyaratan batas usia minimal hakim konstitusi, evaluasi hakim konstitusi," ujar Habiburokhman dalam rapat bersama Menko Polhukam Mahfud MD.

"(Poin ketiga) unsur keanggotaan majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi dan penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi," imbuhnya.

Habiburokhman mengatakan, UU MK saat ini sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada. Karena itu, menurutnya, perlu adanya revisi untuk mengubah sejumlah ketentuan.

"Dalam perkembangannya, beberapa ketentuan dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan," kata Habiburokhman.