JAKARTA - Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menilai perlu ada penyertaan tes psikologi dalam proses rekrutmen tenaga kependidikan seperti guru.
Hal ini buntut kasus guru Agama Islam yang diduga melakukan pelecehan seksual kepada sejumlah siswi SD di Duren Sawit, Jakarta Timur.
"Rekrutmen guru di manapun di seluruh Indonesia memang tidak disertai dengan tes psikologi yang mengarah pada penyimpangan perilaku seksual ataupun oreintasi seksual seorang guru. Tes ini sebenarnya dapat saja dilakukan sebagai langkah preventif," kata Retno kepada VOI, Senin, 13 Februari.
Mantan Komisioner Komisi Perlidungan Anak Indonesia (KPAI) ini membenarkan biaya tes psikologi pada rekrutmen tenaga pengajar memang cukup mahal. Dia menyarankan agar biaya tes psikologi tidak dibebankan kepada calon guru, terutama guru honorer.
"Biaya memang tes lumayan mahal. Jika memungkinkan, ditanggung oleh APBN Provinsi DKI Jakarta jika hal tersebut dianggap perlu dan penting dilakukan," tutur Retno.
Dari kasus ini, Retno mengingatkan agar Pemprov DKI perlu meningkatkan penerapan cara pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan yang diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 86 Tahun 2019 dan Peraturan Mendikbud Nomor 82 Tahun 2015.
"Untuk menciptakan sekolah ramah anak, sekolah yang aman, dan melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan, maka kedua aturan yang saling terkait erat tersebut perlu diimplementasikan oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta," kata dia.
BACA JUGA:
Diberitakan sebelumnya, seorang guru ajaran Agama Islam berinisial A digelandang ke Polres Metro Jakarta Timur lantaran diduga melakukan pencabulan terhadap tujuh siswi di salah satu SD di Duren Sawit, Jakarta Timur.
Kasus ini diduga terjadi sejak Juli 2022 dan baru terungkap setelah ada korban yang berani melapor. Guru honorer itu kini sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan polisi.
Wakapolrestro Jakarta Timur AKBP Ahmad Fanani mengungkapkan, tersangka MA menjalankan aksinya dengan sengaja memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada murid didiknya. Setelah itu, tersangka memeriksa PR tersebut dengan memanggil satu persatu korban untuk duduk dipangku oleh tersangka.
"Modusnya tersangka MA itu membuat PR kepada anak didiknya. Setelah sampai dikelas, dipanggil satu persatu. Setelah itu anak didik perempuan tersebut dipangku dan disuruh membuka kaki pada posisi duduk. MA juga membuka kaki," ujarnya.
Dengan posisi duduk para korban itu, sehingga mengakibatkan nafsunya tersangka tumbuh dan sampai alat kelaminnya berdiri.
Tersangka MA alias A dijerat Pasal 76 E Jo Pasal 82 UU RI no 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU no.01 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU no 23 thn 2002 tentang perlindungan anak dan pencabulan terhadap anak. Ancaman penjara maksimal 20 tahun.