JAKARTA – Harga kedelai impor yang cukup fluktuatif hampir setiap tahun membuat pemerintah diminta mengambil langkah strategis guna mengatasi persoalan ini secara permanen.
Guru Besar Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso menyebut setidaknya ada dua kebijakan penting yang bisa dilakukan oleh negara guna melindungi kepentingan masyarakat luas atas komoditas pangan tersebut.
“Pertama kita harus melindungi petani nasional dengan regulasi makro yang bersifat protektif agar terjadi keseimbangan harga,” ujarnya kepada VOI, Selasa, 5 Januari.
Caranya, kata dia, melalui strategi penetapan tarif impor yang cenderung tinggi. Menurut Dwi, pendekatan tersebut dapat mengimbangi harga produksi nasional.
“Saya melihat tarif impor produk pertanian, termasuk kedelai, berkisar di angka 6,3 persen. Ini kan rendah sekali, coba bandingkan dengan India yang memberlakukan pungutan 45 persen untuk komoditas pertanian maupun perkebunan yang masuk ke negaranya,” tegas dia.
Adapun cara kedua yang disebut adalah terkait intervensi harga di tingkat ritel. Sebagai contoh, negara harus hadir dengan memberikan subsidi selisih harga antara biaya produksi dengan nilai jual di pasaran.
“Langsung cash transfer ke petani agar dirasakan manfaatnya saat itu juga. Selama ini yang ada hanya subsidi pupuk, benih dan lain sebagainya. Tujuan utamanya supaya petani terangsang untuk benar-benar serius menaman komoditas kedelai,” tutur dia.
BACA JUGA:
Sebagai gambaran, disparitas harga kedelai lokal dengan produk impor pada 2002 sekitar Rp1.000 dengan harga jual masing-masing sebesar Rp1.500 dan Rp2.500. Akademisi itu yakin selisih harga masih terus melebar hingga hari ini.
“Mana ada petani yang mau tanam kalau mereka tahu akan kalah dalam persaingan harga, belum lagi jika dihitung biaya produksi,” imbuhnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun redaksi, rata-rata konsumsi kedelai secara nasional menyentuh angka 2,8 juta ton. Dari jumlah tersebut sekitar 92 persen dipenuhi oleh pasokan mancanegara yang sebagian besar didatangakan dari Amerika Serikat (AS).
Masalah timbul saat China mengambil kebijakan perdagangan dengan memborong 60 persen kuota ekspor kedelai AS yang terdapat slot RI didalamnya. Hal ini pula yang dipercaya kuat menjadi penyebab volatilitas harga di pasar global.
Dalam pantauan VOI, pada November 2020 harga kedelai diketahui berada pada level 11,92 dolar AS per bushels. Sebulan berselang, harga merangkak naik menjadi 12,5 dolar AS per bushels.
Organisasi pangan dunia FAO pun mengamini hal tersebut. Dalam catatan FAO harga kedelai diyakini melambung 6 persen menjadi 461 dolar AS perton dari sebelumnya 435 dolar AS perton.