Polemik Swasembada Kedelai, Guru Besar IPB: Pemerintah Hanya Pikirkan Solusi Instan yakni Impor
Tempe, makanan berbahan kedelai. (Foto: Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA – Aktivitas pengolahan bahan pangan di dalam negeri kembali menghadapi tantangan. Kali ini, masalah klasik kelangkaan kedelai kembali muncul. Problematika tersebut kemudian dilengkapi oleh tingginya harga suplai yang ada di pasaran.

Guru Besar Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso mengatakan dilema komoditas ‘wong cilik’ tersebut sebenarnya sudah terjadi dalam hitungan dekade.

“Sebenarnya masalah bahan baku kedelai ini terjadi karena konsumsi dalam negeri lebih tinggi dari produksi lokal. Nah, untuk mencukupi hal tersebut akhirnya pemerintah mengambil langkah impor,” ujarnya kepada VOI, Selasa, 5 Januari.

Dwi menambahkan, opsi mendatangkan bahan baku dari luar negeri memang bisa menjadi solusi instan untuk menambal persoalan yang ada. Meski demikian, cara ini bukannya tidak memiliki tantangan.

“Sekarang jika sebagian besar kebutuhan dicukupi oleh impor dan sedang terjadi gangguan seperti ini kan kita juga yang repot,” tuturnya.

Terkait impor tersebut, lanjut Dwi, pihaknya telah melakukan kajian sejak 2002 saat pemerintah secara besar-besaran membuka keran impor kedelai. Kala itu, dia mendapati fakta bahwa harga kedelai lokal sebesar Rp2.500 perkilogram. Sedangkan, harga varietas yang didatangkan dari mancanegara sebesar Rp1.500.

“Di sinilah awal mula kenapa kita tidak bisa mencukupi kebutuhan sendiri karena lebih murah mendatangkan dari luar negeri,” ucapnya.

Swasembada kedelai

Melihat fakta tersebut pemerintah bukannya tinggal diam. Menurut Dwi, negara sempat menjalankan program Upsus Pajale pada 2014. Strategi ini merupakan upaya peningkatan pemberdayaan sumber daya manusia pertanian pada kawasan sentra produksi subsektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan sehingga tercapainya swasembada pangan.

Meski demikian, akademisi IPB tersebut menilai pemerintah salah sasaran dalam hal penanganan kemandirian kedelai nasional. Dia mencatat, pemerintah, yang direpresentasikan oleh Kementerian Pertanian, menargetkan dapat mencapai swasembada kedelai pada 2019.

Target tersebut kemudian dipertajam menjadi swasembada pada 2018. Namun demikian, kata Dwi, fakta yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya. Dia menyebut impor kedelai pada pada 2014 sekitar 4,2 juta ton. Lalu, pada 2019 terjadi kenaikan impor menjadi 7,2 juta ton.

“Jadi apa yang dilakukan pemerintah hanya wacana dan retorika saja,” katanya.

Dwi melanjutkan, persoalan lain kedelai nasional yang tak kunjung tercukupi adalah terjadi disparitas harga antara hasil produksi petani lokal dengan harga jual yang ada di pasaran.

“Tidak cukup menangani masalah swasembada kedelai ini dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Pemerintah harus intervensi soal harga jual,” sebutnya.

Sebagai contoh, negara wajib hadir membantu menutupi selisih harga produksi dengan harga jual di pasaran melalui metode subsidi. Sehingga, minat petani lokal untuk berbudi daya tanaman kedelai semakin tinggi.

Untuk diketahui, terjadi peningkatan harga kedelai impor dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir. Berdasarkan catatan redaksi, pada November 2020 harga kedelai diketahui berada di level 11,92 dolar AS per bushels.

Sebulan berselang, harga merangkak naik menjadi 12,5 dolar AS per bushels. Organisasi pangan dunia FAO pun mengamini hal tersebut. Dalam catatan FAO harga kedelai diyakini melambung 6 persen menjadi 461 dolar AS perton dari sebelumnya 435 dolar AS perton.

Adapun pada tingkat ritel di Tanah Air, kenaikan harga kedelai impor naik sekitar 20 persen dari biasanya Rp7.000 menjadi Rp9.500. Diduga, melambungnya harga komoditas protein nabati tersebut disebabkan oleh aksi borong China di pasar internasional yang menggerus kuota Indonesia.