ICJR: Kebiri Kimia Pelaku Kekerasan Seksual Aturan Populis, Tak Berpihak ke Korban
Ilustrasi/ Unsplash

Bagikan:

JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritisi ditekennya PP Nomor 70 Tahun 2020 tentang kebiri kimia untuk pelaku pelecehan seksual bagi anak-anak. 

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menilai, pelaksanaan hukuman ini akan memakan anggaran negara yang cukup besar dan dianggap belum berpihak pada korban.

"ICJR menilai bahwa hukuman kebiri kimia adalah aturan yang bersifat populis dan sampai saat ini komitmen pemerintah untuk penanganan korban masih minim dan cenderung turun," kata Erasmus dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Senin, 4 Januari.

Dia bahkan mempertanyakan perihal penandatanganan aturan ini karena hingga saat ini, efektivitas pemberian hukuman tersebut belum terbukti dapat menekan angka pelecehan seksual. Selain itu, mekanisme kebiri sebagai intervensi kesehatan tidak bisa berbasis pada hukuman yang termuat dalam UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Erasmus juga menilai PP yang diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki banyak permasalah karena tak detail dalam hal pelaksanaannya. Dia menilai ada beberapa hal yang belum jelas seperti mekanisme pengawasan, pelaksanaan, dan pendanaannya.

"Lalu bagaimana kalau ternyata setelah dikebiri, terpidana ternyata dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali? Jadi penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih teknis karena kebingungan dalam pengaturannya," ungkapnya.

ICJR juga menilai hingga saat ini Indonesia belum memiliki aturan yang jelas terkait perlindungan dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual. Erasmus mengatakan, memang saat ini sudah ada lima undang-undang yang dibuat untuk mengatur pemulihan korban seperti UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU TPPO, UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, dan UU SPPA. 

Hanya saja, dia menilai, sudah saat bagi pemerintah untuk membuat undang-undang baru yang bisa merangkum perundangan ini sehingga segala aspek perlindungan dan pemulihan korban dapat terjangkau. 

"Untuk pemerintah cukupkan fokus pada kebijakan yang hanya bersifat populis seperti kebiri. Saatnya beralih pada mekanisme perlindungan dan pemulihan korban," tegas dia.

Erasmus juga menegaskan, proses kebiri kimia ini bakal memakan biaya besar. Karena pelaksanaannya tidak hanya kebiri saja melainkan ada sejumlah hal yang harus dilakukan dan membutuhkan anggaran seperti rehabilitasi psikiatrik, sosial, dan rehabilitasi medik bagi para terpidana kebiri kimia.

Hal ini, sambung dia, berbanding terbalik dengan anggaran yang disediakan oleh pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Karena berdasarkan data anggaran LPSK, jumlah layanan yang dibutuhkan korban dan diberikan oleh LPSK terus meningkat namun anggaran yang diberikan kepada LPSK sejak 2015 sampai dengan 2020 justru mengalami penurunan, bahkan cukup signifikan. 

Karena itu, ICJR menilai adanya PP Nomor 70 Tahun 2020 ini negara justru seolah menyatakan diri siap dengan beban anggaran baru yang digunakan untuk penghukuman pelaku. 

"Padahal korban masih menjerit harus menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri. Politik anggaran dari pemerintah yang selalu memangkas kebutuhan anggaran dari pemulihan dan perlindungan korban seperti LPSK menunjukkan bahwa perlindungan dan pemulihan korban belum menjadi prioritas negara," pungkasnya.