Bagikan:

KEPRI - Asisten II Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Bidang Ekonomi Pembangunan Luki Zaiman Prawira menyatakan, angka kemiskinan di daerah itu menempati urutan terendah keenam di Indonesia dan berada di bawah angka rata-rata kemiskinan nasional.

"Provinsi Kepri sesuai perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) di bulan September 2022 menempati urutan terendah keenam secara nasional dan berada di bawah angka rata-rata kemiskinan nasional," kata Luki di Tanjungpinang, Antara, Jumat, 20 Januari. 

Berdasarkan berita resmi statistik yang dikeluarkan BPS Kepri pada Senin, 16 Januari lalu , persentase penduduk miskin di Kepri pada September 2022 sebesar 6,03 persen, menurun 0,21 persen poin dibanding Maret 2022 yang sebesar 6,24 persen.

Angka tersebut masih di bawah angka kemiskinan nasional yang sebesar 9,57 persen. Jumlah penduduk miskin di Kepri periode September 2022 sebesar 148,89 ribu orang, turun 2,79 ribu orang dibanding Maret 2022.

Luki menyebut BPS melakukan perhitungan kemiskinan dua kali dalam setahun di bulan Maret dan September. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kebutuhan dasar atau basic needs approach.

Dengan pendekatan ini, kata dia, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan meliputi makanan dan bukan makanan.

"Selain itu, angka Gini Ratio di Kepri pada bulan September sebesar 0,325. Menurun 0,017 poin dibandingkan Maret 2022 sebesar 0,342, artinya ketimpangan pengeluaran menurun pada periode September 2022," ujarnya.

Ia mengungkapkan Gubernur Kepri Ansar Ahmad menggandeng tangan seluruh pemerintah kabupaten dan kota setempat untuk melakukan kerja bersama menekan angka kemiskinan.

Pemprov Kepri terus menanggulangi kemiskinan dengan pengendalian inflasi melalui operasi pasar, memberikan perlindungan sosial melalui bantuan sosial, dan juga subsidi bunga UMKM dan bantuan transportasi laut untuk siswa.

"Sejalan dengan penyaluran bantuan sosial, penciptaan lapangan kerja yang layak serta perbaikan standar pengupahan dibutuhkan untuk memperkuat daya beli masyarakat dalam menyambut ketidakpastian ekonomi ke depan," ungkapnya.

Selain itu, lanjut dia, peningkatan level pendapatan masyarakat pada dasarnya bisa membantu menurunkan kemiskinan atau mencegah munculnya orang miskin baru. Meski demikian upaya perbaikan pendapatan itu lebih dibutuhkan di sektor informal ketimbang formal, sebab jumlah orang miskin yang bekerja di sektor informal lebih banyak.

Seiring dengan itu pula, upaya untuk mengendalikan inflasi agar tetap stabil dan rendah serta kebijakan perlindungan sosial yang berkelanjutan harus terus dijalankan sebagai bantalan sosial bagi warga rentan.

"Dibandingkan upah minimum yang berlaku di sektor formal, kebijakan yang fokus pada sektor informal akan memberi dampak lebih berarti, seperti bantuan bagi usaha mikro dan kecil atau bantuan bagi petani dan nelayan," papar Luki.

Ia menambahkan ke depan untuk menjaga daya beli dan konsumsi masyarakat miskin dan rentan, pemerintah akan terus melanjutkan program bansos serta menjalankan program pemberdayaan masyarakat.