Bagikan:

JAKARTA - Masa libur akhir tahun belum usai, namun angka kasus COVID-19 di DKI Jakarta telah menunjukkan kenaikan. Dalam lima hari terakhir, kasus baru di Ibu Kota hampir menyentuh angka 2.000 tiap harinya.

Namun, dalam tingginya kasus yang sempat mencetak rekor baru di atas angka 2.000 selama lima hari terakhir, Pemprov DKI memiliki alasan tertentu yang menyebabkan kasus harian melonjak, yakni keterlambatan pelaporan data.

Pada Minggu, 27 Desember, terdapat 1.997 kasus baru di DKI. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Dwi Oktavia bilang, sebenarnya, pada hari itu hanya terdapat 1.509 kasus baru. Namun, ada akumulasi data ratusan kasus yang terlambat dilaporkan.

"Total penambahan kasus positif sebanyak 1.997 kasus, lantaran terdapat akumulasi data sebanyak 488 kasus dari 1 laboratorium RS Swasta, tanggal 23 dan 24 Desember 2020 yang baru dilaporkan," kata Dwi, Minggu, 27 Desember.

Kasus baru di DKI pada Sabtu, 26 Desember pun begitu. Terdapat 2.058 kasus konfirmasi positif baru yang tercatat di Ibu Kota. Tapi, kata Dwi, data kasus baru tidak murni terjadi pada hari Sabtu. 

"Total penambahan kasus positif sebanyak 2.058 kasus lantaran terdapat akumulasi data sebanyak 199 kasus dari 1 laboratorium RS BUMN, tanggal 24 Desember 2020 yang baru dilaporkan," ucap Dwi.

Pada Jumat, 26 Desember, kasus baru DKI mencetak rekor baru, yakni, 2.096 kasus. Lagi-lagi, Dwi menuturkan ada keterlambatan ratusan data kasus yang baru dilaporkan.

"Total penambahan kasus positif sebanyak 2.096 kasus, lantaran terdapat akumulasi data sebanyak 502 kasus dari 2 laboratorium swasta 9 hari terakhir yang baru dilaporkan," ungkapnya.

Keterlambatan pelaporan data seakan jadi budaya

Melihat kondisi ini, ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengaku tidak heran jika penanganan kasus di Indonesia masih terbentur dengan perkara keterlambatan pelaporan data.

"Perkara terlambat data, ya memang begitu di Indonesia, dari awal. Apalagi kasusnya semakin banyak, maka akan semakin banyak juga keterlambatan data kalau penanganan COVID-19 masih begini," kata Dicky kepada VOI, Senin, 28 Desember.

Tak hanya di DKI, keterlambatan data juga terjadi pada angka kasus skala nasional. Pada Kamis, 3 Desember, angka penambahan kasus COVID-19 menyentuh angka 8.369. Papua menjadi salah satu penyumbang kasus COVID-19 terbanyak, yaitu 1.755 kasus.

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito saat itu mengatakan, kasus yang tinggi di Papua bahkan menyalip DKI Jakarta dan Jawa Barat ini bukanlah angka harian kasus melainkan akumulasi sejak dua pekan lalu atau 19 November.

"Data kasus yang dilaporkan, dari dulu Indonesia kan enggak pernah melaporkan secara tepat. Tidak ada laporan hari ini dites, hari ini keluar," ungkapnya.

Dicky menyebut, memang idealnya dilakukan perbaikan kualitas data, termasuk transparansi data. Namun, ia tidak terlalu optimis bahwa keterlambatan pelaporan data bisa dibenahi dalam waktu cepat. 

Sebab, menurutnya kasus virus corona di Indonesia ibarat bola salju. Semakin meningkatnya kasus baru COVID-19, maka akan semakin membutuhkan penanganan yang lebih ekstra.

"Oleh karena itu, maka saat ini yang bagus dilakukan perbaikan terutama tindak lanjutnya, bagaimana pelacakan kasus hingga perawatan pasien yang positif. Serta, transparansi data tetap perlu disampaikan kepada publik," pungkasnya.