JAKARTA - Dunia terkejut saat ribuan pendukung mantan Presiden Jair Bolsonaro menyerbu Kongres, Mahkamah Agung dan istana kepresidenan Brasil di ibu kota Brasilia pada akhir pekan lalu.
Penyerbuan yang diikuti perusakan di dalam gedung sambil meneriakkan tuduhan palsu Pemilu Brasil telah dicurangi, dengan Bolsonaro harusnya yang keluar sebagai pemenang, seakan mengulang peristiwa serupa saat pendukung mantan Presiden Donald Trump menyerbu Capitol Hill pada 6 Januari 2021.
Penyerbuan itu sudah diatur sedemikian rupa, dengan memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan klaim kecurangan pemilu hingga deretan kode yang belakangan diketahui sebagai 'koordinasi' sebelum penyerbuan di Brasilia, dilansir dari BBC 11 Januari.
Dalam beberapa bulan terakhir, para pendukung Bolsonaro telah menyebarkan teori konspirasi secara online, mendorong gagasan bahwa mantan presiden itu adalah pemenang sesungguhnya dari pemilu, bukan Luiz Inacio Lula da Silva. BBC tidak menemukan bukti atas klaim tersebut.
Pada hari-hari menjelang serangan terhadap Kongres Brasil, retorika semakin intensif dan mencakup serangkaian metafora terselubung. Yang utama adalah undangan bagi warga Brasil untuk menghadiri 'Pesta Selma'.
'Selma' adalah plesetan dari kata 'selva', yang berarti hutan dalam bahasa Portugis, dan juga digunakan oleh militer Brasil sebagai sapaan atau seruan perang.
Empat hari sebelum kerusuhan, sebuah video tentang 'Pesta Selma' menjadi viral di grup-grup aplikasi media sosial Telegram. Di dalamnya, seorang pria menjelaskan 'bahan-bahan' untuk 'pesta' tersebut, termasuk merek gula Brasil bernama Union dan lima bulir jagung besar. Jagung adalah permainan kata lainnya. 'Milho' artinya jagung dan 'milhão' artinya sejuta. Usulannya adalah lima juta orang diundang untuk menghadiri protes tersebut.
Unggahan lain di media sosial menawarkan transportasi gratis dari berbagai wilayah negara itu ke Brasilia. Mereka mengiklankan "bus gratis" dengan "semuanya gratis: air, kopi, makan siang, makan malam".
Metafora pesta berlanjut pada hari protes di Twitter, di mana sebuah video diunggah yang menunjukkan ratusan orang berbaris dengan spanduk kuning dan hijau panjang di Brasilia.
Judulnya berbunyi: "Para tamu pertama akan tiba… Begitu semua orang tiba di sini, kuenya bisa dipotong."
Penggunaan kode-kode tersebut dinilai untuk menghindari larangan konten-konten sensitif. Diketahui, sebagian besar platform media sosial melarang dan menghapus seruan untuk melakukan kekerasan.
Dalam video TikTok yang telah dihapus, seorang wanita secara eksplisit mengatakan bahwa dia tidak lagi berbicara tentang politik di TikTok karena dia tidak ingin akunnya dihapus. Dia kemudian berbicara tentang 'Pesta Selma'.
Di tempat lain, orang-orang mengunggah tentang 'pesta' lain, termasuk satu untuk sepupu Selma 'Telma', di São Paolo, dan saudara perempuannya 'Velma', di Rio de Janeiro. Untuk saat ini, 'pesta' tersebut belum mendapatkan banyak daya tarik.
Menurut analisis Arcelino Neto dari Universitas São Paolo, kata Festa Da Selma pertama kali muncul di Twitter pada 5 Januari. Mereka telah digunakan oleh lebih dari 10.000 akun dalam tweet yang dibagikan lebih dari 53.000 kali.
Tagar #festadaselma digunakan untuk 'mengundang' orang-orang untuk muncul di kompleks gedung pemerintah yang dikenal sebagai "Praça dos Três Poderes" (Three Powers Square) di luar Kongres.
Di Telegram, retorikanya lebih eksplisit. Penggemar Bolsonaro meminta "peretas dan pakar IT" untuk "menyerang semua sistem pemerintahan" dan orang-orang bersenjata untuk "melindungi para patriot".
Mereka juga mengundang cadangan dari "militer dan polisi" untuk "berbagi pengalaman taktik dan memimpin 'perebutan' Brasilia dan pemerintahan palsunya".
Belakangan, otoritas Brasil berada di bawah pengawasan atas dugaan kurangnya rencana untuk mengantisipasi krisis.
"Kudeta itu bukan dilakukan oleh presiden Bolsonaro. Kudeta itu bukan oleh Angkatan Bersenjata. Kudeta dilakukan oleh rakyat Brasil dan akan berakibat fatal," bunyi pesan lain yang dibagikan beberapa hari sebelum penyerbuan.
Emillie de Keulenaar, seorang peneliti dari Universitas Groningen yang memantau kelompok pro-Bolsonaro di Telegram, telah menyelidiki bahasa yang digunakan.
Dia mengatakan, setelah pelantikan Lula pada 1 Januari, grup Telegram swasta kecil mulai bermunculan, mengorganisir acara di berbagai wilayah di Brasil.
Pada 6 Januari, dia mengatakan bahasa yang digunakan menjadi "semakin agresif", memicu "perang saudara". Saat itulah metafora mulai muncul. Dia mengatakan para penggemar Bolsonaro ingin menghindari "infiltrasi kaum kiri yang menurut mereka akan mengacaukan rencana mereka".
"Mereka menggunakan 'Festa da Selma' sebagai nama kode untuk serangan itu, tetapi mereka juga menyebutnya 'intervensi populer', 'orang yang mengambil kekuasaan', atau 'pemogokan umum'."
BACA JUGA:
Terpisah, peran media sosial dalam kerusuhan sedang dalam pengawasan. Sejak Elon Musk mengambil alih, Twitter telah memberhentikan staf, termasuk staf di Brasil yang berperan untuk mengatasi informasi yang salah seputar pemilu. Twitter dan Musk telah berulang kali mengatakan, bahwa mereka menangani konten paling berbahaya di situs tersebut.
Ini bukan pertama kalinya misinformasi online memicu serangan fisik terhadap demokrasi. Mantan Kepala Eksekutif Twitter, Jack Dorsey, mengakui dalam sidang penyerbuan Capitol AS pada tahun 2021, bahwa informasi yang salah di situs sosial berperan dalam memicu kekerasan.
Sementara, Meta, yang memiliki Facebook dan Google, perusahaan induk YouTube mengatakan mereka menghapus konten yang memuji atau mendukung demonstran anti-demokrasi di Brasil.