JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan 28 anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019 sebagai Tersangka di kasus suap pengesahan RAPBD Tahun Anggaran 2017-2018.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengatakan, untuk saat ini penyidik baru menahan 10 orang tersangka.
"Ditahan dengan masa penahanan pertama masing-masing selama 20 hari kedepan terhitung 10 Januari 2023-29 Januari 2023," jelasnya dalam Konfrensi Pers di KPK, Jakarta, Selasa, 10 Januari.
Pada perkara ini KPK sebelumnya telah menetapkan 24 orang sebagai tersangka termasuk mantan Gubernur Jambi Zumi Zola.
Ke-28 orang dengan status tersangka yaitu SP, SA, SN, MT, SP, RW, MJ, PR, IK, TR dan KN. Selanjutnya MH, LS, EM, MK, RH, MS, HH, AR, BY, HA, NR, NU, ASHD, DL, MI, MU dan HI.
Konstruksi Kasus
Dalam RAPBD Jambi Tahun Anggaran 2017 dan 2018, tercantum berbagai proyek
pekerjaan infrastruktur dengan nilai proyek mencapai miliaran rupiah yang
sebelumnya disusun oleh Pemprov Jambi. Untuk mendapatkan persetujuan pengesahan RAPBD Jambi Tahun Anggaran 2017 dan 2018, diduga Tersangka SP dkk yang menjabat anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019 meminta sejumlah uang dengan istilah “ketok palu” pada Zumi Zola yang saat itu menjabat Gubernur Jambi.
Atas permintaan tersebut, Zumi Zola melalui orang kepercayaannya Paut Syakarin
yang berprofesi sebagai pengusaha menyiapkan dana sejumlah sekitar Rp2,3
iliar. Mengenai pembagian uang “ketok palu” disesuaikan dengan posisi dari para
Tersangka di DPRD yang besarannya dimulai Rp100-400 juta
peranggota DPRD.
Sedangkan mengenai teknis pemberiannya, Paut Syakarin diduga menyerahkan
Rp1,9 Miliar pada Effendi Hatta dan Zainal Abidin sebagai perwakilan dari tersangka SP dkk. Dengan pemberian uang dimaksud, selanjutnya RAPBD Jambi Tahun Anggaran
2017 dan 2018 akhirnya disahkan.
Untuk mengganti uang yang telah dikeluarkan Paut Syakarin yang diberikan pada
Tersangka SP dkk, Zumi Zola kemudian memberikan beberapa proyek pekerjaan
di Dinas PU Pemprov Jambi pada Paut Syakarin.
Para Tersangka disangkakan melanggar pasal 12 huruf (a) atau Pasal 11 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.