Bagikan:

JAKARTA - Jepang menawarkan kompensasi yang menarik bagi keluarga yang bersedia pindah dari ibu kotanya yang penuh sesak, dalam upaya merevitalisasi kota-kota pedesaan dan meningkatkan angka kelahiran.

Mulai April mendatang, keluarga di wilayah metropolitan Tokyo, termasuk yang dikepalai oleh orang tua tunggal, berhak menerima 1 juta yen (Rp118.161.026) jika mereka pindah ke daerah berpenduduk sedikit di seluruh negeri, menurut juru bicara dari pusat pemerintah.

Ini bukan pertama kalinya pemerintah mencoba menggunakan insentif keuangan untuk mendorong orang pindah, tetapi rencana ini lebih murah hati dengan jumlah tiga kali lipat dari yang ditawarkan saat ini, melansir CNN 4 Januari..

Selama beberapa dekade, orang-orang di seluruh Jepang telah bermigrasi ke pusat kota untuk mencari peluang kerja. Tak heran jika Tokyo menjadi kota terpadat di negara itu, dengan sekitar 37 juta penduduk.

Sebelum pandemi COVID-19, jumlah orang yang pindah ke Tokyo melebihi jumlah mereka yang meninggalkan kota hingga 80.000 setiap tahun, menurut statistik pemerintah yang dirilis pada tahun 2021.

tokyo jepang
Aktivitas warga Tokyo, Jepang. (Wikimedia Commons/Dick Thomas Johnson)

Tetapi pola migrasi ini, dikombinasikan dengan populasi Jepang yang menua dengan cepat, telah meninggalkan kota-kota pedesaan dengan semakin sedikit penduduk, serta jutaan rumah kosong.

Lebih dari separuh kota di negara itu, tidak termasuk 23 distrik Tokyo, diperkirakan akan ditetapkan sebagai daerah berpenduduk sedikit pada tahun 2022, menurut sensus nasional.

Sementara itu di kota-kota besar, ruang cepat habis dan harga-harga meroket. Tokyo secara konsisten menjadi salah satu kota termahal di dunia untuk ditinggali, peringkat kelima secara global pada tahun 2022.

Masalah ini, migrasi kaum muda dari pedesaan ke kota-kota yang padat, merupakan faktor kunci dalam krisis demografi yang lebih besar di Jepang, menurut para ahli.

Diketahui, Negeri Matahari Terbit lama berjuang dengan tingkat kelahiran yang rendah dan harapan hidup yang panjang, dengan jumlah kematian melebihi jumlah kelahiran dalam beberapa tahun terakhir.

ilustrasi tokyo
Ilustrasi Tokyo, Jepang. (Wikimedia Commons/Syced)

Para ahli menilai ada beberapa faktor penyebab, biaya hidup yang tinggi, ruang yang terbatas dan kurangnya dukungan pengasuhan anak di kota-kota mempersulit membesarkan anak, yang berarti semakin sedikit pasangan yang memiliki anak. Pasangan perkotaan juga seringkali jauh dari keluarga besar yang bisa membantu memberikan dukungan. Misalnya, Tokyo memiliki tingkat kesuburan terendah dari 47 prefektur di Jepang.

Pola migrasi saat ini menghasilkan kampung halaman yang sepi dengan sedikit anak. Di desa tepi Sungai Nagoro di Jepang selatan, terdapat kurang dari 30 penduduk pada tahun 2019, dengan penduduk termuda berusia di atas 50 tahun. Satu-satunya sekolah di desa tersebut ditutup beberapa tahun lalu setelah siswa terakhirnya lulus.

Untuk mengatasi masalah ini, pihak berwenang meluncurkan inisiatif pada tahun 2019 untuk menarik orang ke wilayah regional.

Di bawah rencana ini, individu yang telah tinggal dan bekerja di wilayah metropolitan Tokyo setidaknya selama lima tahun, dapat menerima 600.000 yen (Rp70.896.615) jika mereka pindah ke daerah pedesaan. Insentif itu lebih tinggi untuk pasangan, yaitu 1 juta yen (Rp118.161.026).

Tahun lalu, pemerintah mengizinkan orang tua tunggal atau pasangan dengan anak untuk menerima 300.000 yen (Rp35.448.307) per anak jika mereka pindah. Insentif berlaku untuk anak berusia di bawah 18 tahun, atau tanggungan 18 tahun ke atas jika mereka masih duduk di bangku SMA, 

Mereka yang pindah dapat bekerja di daerah itu, mendirikan bisnis mereka sendiri atau tetap bekerja dari jarak jauh di pekerjaan mereka yang berbasis di Tokyo, kata juru bicara pemerintah.

"Tokyo memiliki konsentrasi penduduk yang sangat tinggi, dan pemerintah ingin meningkatkan arus orang ke daerah untuk merevitalisasi daerah dengan populasi yang menurun," jelasnya.

Diketahui, program tersebut memiliki daya tarik, meskipun pada tahap awal jumlahnya masih rendah. Pada tahun pertama peluncurannya, hanya 71 rumah tangga yang berpartisipasi, dibandingkan dengan 1.184 rumah tangga pada tahun 2021.