JAKARTA - Kementerian Kesehatan RI memonitor dan mengkaji perkembangan gelombang COVID-19 di China, sementara sejumlah negara ada yang sudah melakukan langkah antisipasi dan mempertimbangkan langkah-langkah yang perlu diambil.
Gelombang infeksi COVID-19 melanda China, setelah pelonggaran pembatasan COVID-19 paling ketat di dunia, termasuk pengujian, mulai bulan ini membuat rumah sakit dan instalasi kesehatan di negara itu kewalahan. Keputusan otoritas setempat untuk menghentikan publikasi data COVID-19 membuat sejumlah negara khawatir.
"Ini masih dikaji dan dimonitor perkembangannya," kata Kabiro Humas Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmizi saat dikonfirmasi VOI, Rabu 28 Desember.
"Pengkajian dilakukan oleh Kemenkes bersama para ahli epidemiologi. Nanti dibahas dengan lintas sektor terkait," terangnya.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri RI mengatakan, sejauh ini China masih melakukan pembatasan perjalanan keluar negeri bagi masyarakatnya.
"saya sudah cek dengan KBRI di Beijing, untuk RRT masih diberlakukan pembatasan perjalanan ke luar negeri oleh pemerintahnya, sehingga belum ada turis dari RRT yg ke luar negeri," jelas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah melalui pesan singkat.
Terpisah, beberapa pemerintah sedang mempertimbangkan persyaratan perjalanan ekstra untuk pengunjung China, terkait dengan kondisi yang terjadi di Negeri Tirai Bambu tersebut.
Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus telah menyatakan kekhawatiran tentang lonjakan jumlah infeksi di China dan menyerukan untuk mengungkapkan lebih banyak informasi.
Pemerintah AS sedang mempertimbangkan untuk memberlakukan aturan COVID-19 baru bagi pelancong dari China, kata para pejabat, mengutip kekhawatiran atas data terkait virus yang dirilis oleh pemerintah China.
"Ada kekhawatiran yang meningkat di komunitas internasional tentang lonjakan COVID-19 yang sedang berlangsung di China dan kurangnya data transparan, termasuk data urutan genomik virus, yang dilaporkan dari RRT," kata para pejabat dalam sebuah pernyataan Selasa malam, seperti melansir CNBC.
"Tanpa data ini, semakin sulit bagi pejabat kesehatan masyarakat untuk memastikan bahwa mereka akan dapat mengidentifikasi potensi varian baru dan mengambil langkah cepat untuk mengurangi penyebarannya," kata para pejabat tersebut.
Di Jepang, Perdana Menteri Fumio Kishida mengatakan negara itu akan memperketat kontrol perbatasan untuk sementara waktu terhadap para pelancong dari China mulai akhir pekan ini.
Mulai Jumat, Jepang akan mewajibkan semua pelancong dari China daratan dan mereka yang mengunjunginya dalam tujuh hari untuk melakukan tes COVID-19 pada saat kedatangan, kata PM Kishida kepada wartawan, mengutip Kyodo News.
Untuk memastikan pengujian menyeluruh, pemerintah mengatakan akan membatasi keberangkatan dan kedatangan penerbangan langsung yang menghubungkan Jepang dengan China daratan, Hong Kong dan Makau ke empat bandara - Narita, Haneda, Kansai dan Chubu - dan meminta maskapai penerbangan untuk tidak meningkatkan penerbangan semacam itu.
BACA JUGA:
Selain empat bandara utama, pemerintah meminta agar Cathay Pacific Airlines Ltd., Hong Kong Airlines Ltd., dan Hong Kong Express Airways Ltd. menghentikan penerbangan mereka yang menghubungkan Hong Kong dengan Sapporo, Fukuoka dan Naha mulai Jumat.
Adapun India dan Taiwan juga akan mewajibkan tes COVID negatif bagi pelancong dari China daratan, sedangkan Filipina mempertimbangkan untuk memberlakukan tes, seperti mengutip Reuters.
Diketahui, otoritas Tiongkok memperkirakan 250 warganya tertular COVID-19 selama periode 1-20 Desember atau sekitar 18 persen populasi, dengan Deputi Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (CDC) China Sun Yang mengatakan pada Hari Senin, penyebaran infeksi terus meluas, melansir Antara.
China melalui Komisi Kesehatan Nasional (NHC) mengumumkan penghentian publikasi data kasus COVID-19 harian mulai Hari Minggu lalu.