Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan perhatian lebih terhadap kelompok masyarakat yang tinggal di daerah padat penduduk dan kumuh untuk mencegah terjadinya penularan COVID-19.

Alasannya, masyarakat yang tinggal di daerah ini dianggap rentan tertular karena rendahnya pemahaman terhadap virus yang mudah menular.

"Kelompok masyarakat yang (tinggal di daerah, red) padat, kumuh di Jakarta itu jadi perhatian kita. Rata-rata mungkin karena pendidikannya dan pemahamannya kurang," kata Wagub DKI Jakarta Ahmad Riza Patria dalam konferensi pers yang ditayangkan secara daring di akun YouTube BNPB, Jumat, 18 Desember.

Selain rentan karena pemahaman yang kurang, masyarakat yang tinggal di tempat semacam itu biasanya berasal dari golongan kelas bawah. Sehingga, mereka biasanya terdesak dengan kebutuhan hidup sehari-hari dan berujung mengabaikan anjuran pemerintah dengan tetap bekerja di luar rumah tanpa memperhatikan protokol kesehatan.

"Kalau enggak kerja, enggak keluar rumah, enggak dapat uang, enggak makan, mati juga. Jadi karena COVID-19 mati, tidak kerja ya mati," ungkapnya.

Namun, kondisi ini berbanding terbalik dengan masyarakat di Jakarta dari kalangan kelas menengah ke atas. Kata Riza, masyarakat dari kalangan ini biasanya lebih patuh terhadap penerapan protokol kesehatan dan hal ini disyukurinya.

Hal ini, sambungnya, tidak terlepas dari banyaknya fasilitas untuk menghadapi pandemi COVID-19. "Kami bersyukur karena Jakarta ibu kota banyak fasilitas, media sosial, media, banyak orang pintar semua lengkap," ujarnya.

"Sehingga masyarakat Jakarta umumnya lebih banyak yang patuh. Di awal data dari survei 60 persen masyarakat Jakarta memakai masker patuh dan taat. Dan, mohon maaf orang yang berpendidikan itu memang lebih taat menggunakan masker," imbuhnya.

Selain itu, kepatuhan kelas menengah atas juga terbukti dari sepinya pusat perbelanjaan. Meski sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta merasa khawatir saat pusat perbelanjaan dibuka namun kekhawatiran ini justru tidak terbukti.

Sebab, saat ini pusat perbelanjaan malah kerap sepi dari pengunjung. Bahkan, karena sepinya ada sejumlah pusat perbelanjaan yang terpaksa gulung tikar.

"Jadi kelas menengah ke atas lebih sadar dan aware mall jadi sepi sampai sekarang. Bahkan, target 50 persen di mal enggak sampe. Awal-awal malah hanya 11 persen, 13 persen, sempat beberapa mal sekali pun diperbolehkan buka tutup, karena rugi, enggak efisien. Ini menunjukkan kelas menengah ke atas punya kesadaran yang lebih tinggi sekalipun mal tempat paling nikmat di Jakarta ini, tempat hiburan, mereka sadar dan lebih senang di rumah," pungkasnya.