3 Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Saprodi Cetak Sawah Baru di Bima NTB Dilimpahkan ke Kejari
Penyidik bersama penuntut umum melaksanakan kegiatan pemeriksaan berkas dalam proses tahap dua kasus korupsi saprodi dan cetak sawah baru di Kantor Kejari Bima, NTB, Senin (12/12/2022). (ANTARA/HO-Polres Bima)

Bagikan:

NTB - Polres Bima melimpahkan tersangka dan barang bukti kasus dugaan korupsi sarana produksi (saprodi) cetak sawah baru tahun 2016 ke Jaksa Penuntut Umum ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Bima, Senin 12 Desember sore.

"Dengan melaksanakan tahap dua hari ini, penanganan pada kami sudah tuntas," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bima, Ajun Kompol Masdidin dihubungi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin 12 Desember.

Tersangka yang dilimpahkan ke penuntut umum tersebut berjumlah tiga orang. Mereka adalah mantan Kepala Dinas Pertanian dan Hortikultura (DPH) Kabupaten Bima berinisial MT, mantan Kepala Bidang berinisial MU, dan mantan Kepala Seksi berinisial NMS.

Mengenai hal tersebut, Kepala Seksi Intelijen Kejari Bima Andi Sudirman membenarkan adanya pelimpahan tersangka dan barang bukti kasus saprodi cetak sawah baru dari penyidik kepolisian.

"Iya, ini masih berlangsung (pemeriksaan)," kata Andi melalui sambungan telepon.

Dengan proses pemeriksaan yang kini masih berlangsung, Andi belum dapat memastikan perihal penahanan terhadap ketiga tersangka.

"Tunggu putusan penuntut umum," ujarnya.

Saat kasus ini berjalan di penyidikan kepolisian, penyidik tidak melakukan penahanan terhadap ketiga tersangka. Penyidik mempertimbangkan sikap kooperatif mereka selama proses hukum berjalan.

Pada tahun 2016, Pemerintah Kabupaten Bima mendapat program cetak sawah baru periode 2015-2016 dan bantuan saprodi yang bersumber dari APBN.

Kala itu, Kabupaten Bima mendapat kucuran dana Rp14,47 miliar untuk 241 kelompok tani. Penyaluran langsung ke buku rekening perbankan milik kelompok tani.

Dana tersebut disalurkan dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar 70 persen atau sebanding dengan Rp10,13 miliar dan tahap kedua Rp4,11 miliar.

Namun, dari hasil penelusuran penyidikan ditemukan indikasi anggaran tidak disalurkan ke seluruh kelompok tani.

Hal itu pun dikuatkan dengan hasil penghitungan kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB dengan nilai sedikitnya Rp5,11 miliar.