Sebut Bupati Bima Indah Dhamayanti Terima Uang Rp250 Juta, Terdakwa Korupsi Proyek Saprodi Ajukan Diri Jadi JC
DOK ANTARA

Bagikan:

MATARAM - Terdakwa korupsi Proyek Penyaluran Bantuan Sarana Produksi (Saprodi) Cetak Sawah Baru Tahun Anggaran 2016 di Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura (PTPH) Kabupaten Bima, Muhammad, menyatakan akan mengajukan diri sebagai "justice collaborator" (JC) di persidangan.

"Saya siap ajukan diri sebagai 'justice collaborator'. Akan saya ajukan nanti di persidangan melalui penasihat hukum saya," kata Muhammad yang ditemui di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, NTB, dengan didampingi Israil, penasihat hukumnya dilansir ANTARA, Senin, 20 Februari.

Muhammad yang mengemban jabatan Kepala Bidang Rehabilitasi Pengembangan Lahan dan Perlindungan Tanaman Dinas PTPH Kabupaten Bima saat proyek tersebut bergulir menyatakan hal demikian karena merasa tersudutkan dengan pernyataan terdakwa M. Tayeb, mantan Kepala Dinas PTPH Kabupaten Bima.

Pernyataan tersebut berkaitan dengan uraian eksepsi M. Tayeb yang menyebutkan Muhammad menyerahkan uang proyek Rp250 juta ke Bupati Bima Indah Dhamayanti Putri tanpa sepengetahuan dirinya sebagai Kepala Dinas PTPH Kabupaten Bima.

Terdakwa M. Tayeb menyampaikan hal tersebut dalam uraian eksepsi berdasarkan keterangan Muhammad pada berita acara pemeriksaan (BAP) Kejaksaan.

Terkait hal itu, Muhammad memberikan klarifikasi dirinya tidak menyampaikan keterangan demikian dalam BAP Kejaksaan.

"Yang sebenarnya saya sampaikan dalam BAP itu bahwa Abdul Rauf mengatakan bahwa M. Tayeb sudah menerima Rp250 juta dan katanya uang itu akan diserahkan M. Tayeb ke bupati," ujar dia.

Dia menjelaskan Abdul Rauf adalah perwakilan perusahaan penyedia saprodi dari CV Mitra Agro Santosa. Abdul Rauf menyampaikan hal tersebut ketika mendatangi Muhammad di rumahnya, sekitar 5 bulan setelah anggaran masuk ke rekening para penerima dari kalangan kelompok tani.

Dalam pertemuan itu, Muhammad mengatakan bahwa Abdul Rauf datang untuk menagih sisa pembayaran pesanan yang sudah ada di gudang penampungan saprodi di Desa Teke, Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima.

"Dia (Abdul Rauf) bilang penagihan ini atas perintah M. Tayeb. Tetapi saya jawab, besok ketemu di kantor saja," ucapnya.

Bahkan, dalam pertemuan tersebut, Abdul Rauf menawarkan jatah proyek Rp1,5 miliar untuk Muhammad dan dua terdakwa lain, yakni M. Tayeb dan Nur Mayangsari, Kepala Seksi Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (RPL) Dinas PTPH Kabupaten Bima.

Terkait tawaran itu, Muhammad meyakinkan dirinya menolak dan meminta agar uang Rp1,5 miliar dikembalikan ke kelompok tani.

"Karena itu hak para petani. Makanya saya suruh dia untuk kembalikan ke petani," kata Muhammad.

Kemudian, pada esok hari, Muhammad yang mengatur janji untuk bertemu dengan Abdul Rauf di kantornya terlebih dahulu mendapat panggilan dari M. Tayeb.

"Di situ, M. Tayeb mendatangi saya dan memerintahkan saya untuk membayar barang sesuai permintaan Abdul Rauf," ujarnya.

Muhammad mengaku sempat menegur M. Tayeb soal hal tersebut tidak sesuai dengan aturan pelaksanaan.

"Tetapi, karena perintahnya ttap demikian, sebagai bawahan, saya harus ikuti," kata Muhammad.

Muhammad merasa dirinya menjadi korban dalam kasus ini. Begitu pula dengan terdakwa Nur Mayangsari yang berada di bawah perintah M. Tayeb sebagai Kepala Dinas PTPH Bima.

Hal itu yang menguatkan niat Muhammad untuk mengajukan diri sebagai "justice collaborator" di kasus korupsi yang telah menimbulkan kerugian negara Rp5,1 miliar.

"Jadi, semua yang saya sampaikan ini ada dalam BAP saya di kejaksaan. Semua akan saya sampaikan kalau saya JC," ujarnya.

Dalam perkara ini, Muhamamad, M. Tayeb, dan Nur Mayangsari didakwa sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan tindak pidana korupsi yang memperkaya diri sendiri atau orang lain.

Dalam dakwaan, jaksa menerapkan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Program Dana Bantuan Saprodi Cetak Sawah Baru Tahun Anggaran 2016 ini berasal dari Kementerian Pertanian RI untuk membantu meningkatkan produksi pangan di Kabupaten Bima.

Negara menyalurkan anggaran Rp14,4 miliar kepada 241 kelompok tani di Kabupaten Bima. Penyaluran anggaran dilakukan secara langsung ke rekening perbankan masing-masing kelompok tani.

Pencairan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar Rp10,3 miliar, 70 persen dari total anggaran Rp14,4 miliar, dan 30 persen pada tahap kedua dengan nilai Rp4,1 miliar.

Dalam dakwaan, jaksa mengungkap bahwa terdakwa M. Tayeb sebagai pejabat pembuat komitmen mengeluarkan perintah untuk melakukan penarikan tunai kepada kelompok tani ketika anggaran tersebut telah masuk ke rekening pribadi masing-masing. Uang tersebut diminta untuk dikumpulkan kembali di Dinas PTPH Kabupaten Bima.

Pengumpulan anggaran yang seharusnya dikelola mandiri oleh masing-masing kelompok tani itu ditarik kembali atas perintah terdakwa M. Tayeb tanpa adanya nota penyerahan.

Setelah uang terkumpul dari kelompok tani, atas perintah M. Tayeb, Muhammad bersama Nur Mayangsari melakukan pembayaran ke CV Mitra Agro Santosa yang beralamat di Jombang, Jawa Timur.

Nur Mayangsari sebagai bawahan Muhammad mendapatkan perintah membuat dua nota pesanan saprodi untuk CV Mitra Agro Santosa dengan rincian nota pertama sejumlah Rp8,9 miliar dan untuk pesanan kedua Rp1,7 miliar.

Penunjukan CV Mitra Agro Santosa sebagai penyedia saprodi berada di bawah perintah M. Tayeb. Barang-barang yang dibeli dari perusahaan tersebut, antara lain, benih padi, pupuk, dan pestisida.

Namun, dari daftar pembelian ada beberapa item barang yang tidak bisa disediakan CV Mitra Agro Santosa sehingga ada yang dibeli dari perusahaan penyedia lokal.

Jaksa menilai pemesanan saprodi tersebut tidak sesuai dengan luas sawah poktan yang terdaftar dalam petunjuk pelaksanaan sehingga terdapat kekurangan yang kini muncul sebagai nilai kerugian negara sebesar Rp5,1 miliar.