Belajar dari Bupati Bangkalan, KPK Ingatkan Kepala Daerah Hindari Praktik KKN
Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 8 Desember. (Tsa Tsia-VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta kepala daerah belajar dari kasus Bupati Bangkalan Abdul Latif Amin Imron. Mereka diminta menghindari praktik korupsi dan menerapkan mengelola daerahnya secara profesional.

"KPK mengimbau seluruh kepala daerah untuk melaksanakan manajemen ASN secara profesional dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance and good government dengan menghindari praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 8 Desember.

Firli mengaku prihatin dengan modus jual beli jabatan. Monitoring dipastikan akan terus dilakukan oleh KPK.

"KPK prihatin modus korupsi jual beli jabatan masih rentan terjadi korupsi, karena itu KPK akan terus melakukan upaya pencegahan dan monitoring melalui Monitoring Centre for Prevention (MCP) pada fungsi koordinasi supervisi," tegasnya.

KPK menyebut Bupati Bangkalan Abdul Latif Amin Imron menerima suap hingga Rp5,3 miliar dari lelang jabatan hingga pengadaan proyek. Uang tersebut diduga digunakan untuk keperluan pribadinya, termasuk membayar survei.

Tak dirinci jumlah uang yang digunakan untuk membayar lembaga survei itu. KPK hanya menyebut penerimaan dilakukan Abdul Latif lewat orang kepercayaannya.

Adapun dalam jual beli jabatan Abdul Latif disebut mematok tarif dengan besaran Rp50 juta hingga Rp150 juta. Angka tersebut tergantung dari jabatan yang diincar para aparatur sipil negara (ASN) di Kabupaten Bangkalan.

Adapun para pihak yang memberikan uang tersebut adalah Kadis Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Hosin Jamili, Kadis PUPR Wildan Yulianto, Kadis Perindustrian dan Tenaga Kerja Salman Hidayat, Kadis Ketahanan Pangan Achmad Mustaqim dan Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM Agus Eka Leandy.

Berikutnya, KPK menduga Abdul Latif menerima sejumlah uang dari pengaturan proyek. Dia disebut menentukan besaran fee yang harus diberikan mencapai 10 persen dari tiap nilai anggaran.

Terakhir, kepala daerah itu juga diduga menerima gratifikasi. Akibat perbuatannya, Abdul sebagai penerima suap disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Sementara Agus, Wildan, Achmad, Hosin, dan Salman sebagai pemberi disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.