Bagikan:

JAKARTA - Para pengunjuk rasa di Iran pada Hari Minggu menyerukan pemogokan tiga hari pekan ini, meningkatkan tekanan pada pihak berwenang, di tengah simpang siur kabar pembubaran polisi moral dan rencana untuk peninjauan kembali aturan mengenai jilbab di negara itu.

Ratusan orang telah tewas dalam kerusuhan yang meletus pada Bulan September setelah kematian dalam tahanan Mahsa Amini, seorang wanita Iran Kurdi berusia 22 tahun yang ditahan oleh polisi moralitas karena melanggar aturan jilbab.

Para pengunjuk rasa yang berusaha untuk mempertahankan tantangan mereka terhadap penguasa Iran, menyerukan pemogokan ekonomi tiga hari dan unjuk rasa ke Lapangan Azadi (Kebebasan) Teheran pada Hari Rabu, menurut unggahan individu yang dibagikan di Twitter oleh akun yang tidak diverifikasi oleh Reuters, seperti dilansir 5 Desember.

Seruan serupa untuk aksi pemogokan dan mobilisasi massa dalam beberapa pekan terakhir, mengakibatkan eskalasi kerusuhan yang melanda negara itu, beberapa protes anti-pemerintah terbesar sejak Revolusi Iran 1979.

Kantor berita aktivis HRANA mengatakan 470 pengunjuk rasa telah tewas hingga Hari Sabtu, termasuk 64 anak di bawah umur. Dikatakan 18.210 demonstran ditangkap dan 61 anggota pasukan keamanan tewas.

Sementara itu, warga dan surat kabar seperti harian Shargh mengatakan penampakan polisi moralitas berkurang beberapa pekan terakhir, dinilai untuk menghindari protes lebih luas.

Pada Hari Sabtu, Jaksa Agung Mohammad Jafar Montazeri dikutip oleh Kantor Berita Buruh Iran semi-resmi mengatakan, polisi moral telah dibubarkan.

"Otoritas yang sama yang membentuk polisi ini telah menutupnya," katanya seperti dikutip. Dia mengatakan polisi moralitas tidak berada di bawah otoritas kehakiman, yang terus memantau tindakan perilaku di tingkat masyarakat.

Sementara itu, saluran berita al-Alam yang dikelola Pemerintah Iran pada hari Minggu membantah laporan media, yang mengklaim bahwa polisi moral negara telah dibubarkan, mengutip Al Arabiya.

Sebelumnya pada Hari Minggu, beberapa outlet berita melaporkan Iran telah menghapuskan polisi moralitas, yang bertugas menegakkan aturan berpakaian yang ketat di negara tersebut.

Laporan tersebut mengutip komentar yang dibuat oleh Jaksa Agung Montazeri pada sebuah konferensi agama pada Hari Sabtu.

Menurut kantor berita semi-resmi ISNA, Montazeri ditanyai oleh salah satu peserta "mengapa polisi moralitas ditutup," yang ditanggapi oleh Montazeri: "Polisi moralitas tidak ada hubungannya dengan peradilan dan ditutup oleh pengadilan yang sama,"

“Meski tentu saja, kejaksaan akan terus memantau perilaku sosial masyarakat,” imbuhnya.

Al-Alam melaporkan: "Tidak ada pejabat di Republik Islam Iran yang mengonfirmasi penutupan polisi moralitas."

Tidak ada konfirmasi penutupan dari Kementerian Dalam Negeri yang bertanggung jawab atas polisi moralitas, dan media pemerintah Iran mengatakan Jaksa Agung Montazeri tidak bertanggung jawab untuk mengawasi pasukan tersebut.

Sebelumnya, Jaksa Agung Montazeri mengatakan Kamis, parlemen dan kehakiman Iran sedang meninjau undang-undang wajib jilbab negara itu, menurut outlet pro-reformasi Entekhab, seperti mengutip CNN.

Adapun pejabat tinggi Iran telah berulang kali mengatakan Teheran tidak akan mengubah kebijakan jilbab wajib Republik Islam, yang mengharuskan perempuan untuk berpakaian sopan dan mengenakan jilbab, meskipun protes selama 11 minggu terhadap peraturan Islam yang ketat.

Diketahui, mengenakan jilbab di depan umum saat ini wajib bagi perempuan di Iran, di bawah hukum yang ketat yang ditegakkan oleh apa yang disebut polisi moralitas negara itu.