Kepala Intel Israel Sebut Protes di Iran Mengarah ke Pemberontakan, Tapi Tidak Membahayakan Pemerintah
Protes kematian Mahsa Amini dan pengunjuk rasa lainnya di Iran. (Wikimedia Commons/Ideophagous)

Bagikan:

JAKARTA - Kepala intelijen militer Israel mengatakan pada Hari Senin, protes yang mengguncang Iran mulai menyerupai pemberontakan rakyat.

Kendati demikian, dia melihat "tidak ada bahaya nyata" bagi kelangsungan rezim pemerintah Teheran yang berkuasa saat ini.

Protes nasional, yang dipicu oleh kematian wanita Kurdi Iran berusia 22 tahun Mahsa Amini pada Bulan September dalam tahanan polisi moralitas, telah menjadi yang paling intens di daerah di mana mayoritas dari 10 juta orang Kurdi Iran tinggal.

Israel, yang terkunci dalam konflik puluhan tahun seperti Perang Dingin dengan Iran, telah menyaksikan perkembangan ketika berusaha membujuk kekuatan dunia, untuk memperkuat diplomasi yang dimaksudkan untuk mengekang program nuklir Teheran yang disengketakan.

"Saya pikir protes telah bergeser, sampai taraf tertentu, ke ranah pemberontakan rakyat," kata kepala intelijen militer Israle Mayor Jenderal Aharon Haliva, kepada Institut Studi Keamanan Nasional Universitas Tel Aviv, dikutip dari Reuters 22 November.

"Ketika Anda melihat beberapa insiden, bahkan jam terjadinya, kerusakan institusi nasional, simbol negara, jumlah korban jiwa, ada sesuatu yang berbeda terjadi di sini yang sangat meresahkan rezim," paparnya.

"Pada saat ini saya tidak melihat bahaya nyata bagi rezim," tambahnya, tetapi memperingatkan bahwa "ramalan, dalam konteks perilaku masyarakat, bukanlah sesuatu yang bergantung pada kepala intelijen militer, meskipun dia mungkin benar."

Diberitakan sebelumnya, sekitar 400 pengunjuk rasa dan 50 anggota pasukan keamanan tewas selama protes di Iran dua bulan terakhir, dipicu oleh kematian Amini. Demonstran awalnya menyerukan lebih banyak hak perempuan, sebelum menuntut kondisi kehidupan yang lebih baik di tengah inflasi tinggi dan kekurangan barang-barang kebutuhan pokok.

Kemarin, Iran dikatakan melakukan serangan rudal drone terhadap wilayah semi-otonom Kurdi di Irak, menargetkan pembangkang Kurdi yang disalahkan karena mengobarkan protes dan kerusuhan. Korps Pengawal Revolusi Iran (IRGC) mengklaim serangan tersebut di situs media sosial Telegram.