JAKARTA - Mantan Dirut Perum Percetakan Negara Isnu Edhi Wijaya dan bekas Ketua Tim Teknis Pengadaan Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Husni Fahmi masing-masing divonis empat tahun penjara dalam perkara korupsi pengadaan KTP elektronik tahun 2011-2013.
"Menyatakan terdakwa I Husni Fahmi dan terdakwa II Isnu Edhi Wijaya secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif kedua. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I dan terdakwa II berupa pidana penjara masing-masing selama empat tahun dan denda sejumlah Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan," kata Ketua Majelis Hakim Yusuf Pranowo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dilansir ANTARA, Senin, 31 Oktober.
Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang menuntut Isnu Edhi Wijaya dan Husni Fahmi divonis masing-masing selama lima tahun penjara ditambah dan denda sejumlah Rp300 juta subsider enam bulan kurungan.
Keduanya dinilai terbukti melakukan perbuatan berdasarkan dakwaan kedua dari pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
"Hal-hal yang memberatkan, kedua terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal-hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan, belum pernah dipidana, terdakwa satu dan terdakwa dua adalah tulang punggung keluarga," ungkap hakim.
Dalam dakwaan disebutkan Husni Fahmi sebagai sebagai PNS di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kemudian diperbantukan di Ditjen Adminduk untuk pendampingan teknis. Salah satu peserta lelang proyek uji petik E-KTP adalah PNRI yang dipimpin terdakwa II Isnu Edhi Wijaya. Saat uji petik tersebut, Husni Fahmi dan Isnu Edhi mulai saling mengenal.
Husni lalu merekomendasikan kepada Kemendagri mengenai spesifikasi perangkat keras, perangkat lunak dan blangko KTP elektronik, konfigurasi spesifikasi teknis dan daftar harga yang disusun oleh Husni dan tim yang pada akhirnya dipergunakan sebagai bahan acuan dalam pembuatan Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS) dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) seharga Rp18 ribu per keping KTP yang sudah dinaikkan harganya (mark up) dan tanpa memperhatikan adanya diskon terhadap barang-barang tertentu.
Selanjutnya Isnu Edhi membentuk Manajemen Bersama Konsorsium PNRI yang memutuskan sebagai berikut: Board Of President Director (BOD) yang beranggotakan semua direktur utama anggota konsorsium, yakni Isnu Edhi Wijaya mewakili Perum PNRI, Arief Safari mewakili PT Sucofindo, Wahyuddin Bagenda mewakili PT LEN Industri, Anang Sugiana Sudihardjo mewakili PT Quadra Solution, dan Paulus Tannos mewakili PT Sandipala Arthaputra.
Pada 21 Juni 2011, Mendagri saat itu Gamawan Fauzi lalu menetapkan konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran sebesar Rp5,841 triliun.
Adapun pekerjaan yang tidak diselesaikan oleh konsorsium PNRI tersebut sebagaimana yang telah ditentukan namun tetap memperoleh pembayaran secara bertahap meskipun tidak memenuhi target pekerjaan pada setiap terminnya hingga terkumpul management fee sejumlah Rp137,989 miliar dari pemotongan tagihan lima perusahaan anggota Konsorsium PNRI.
BACA JUGA:
Pada September 2012, Husni Fahmi menerima uang sebesar 20 ribu dolar AS dan fasilitas berupa tiket pesawat pulang pergi Jakarta – Los Angeles menggunakan maskapai Singapore Airlines di Business Class dan dilanjutkan dari LA ke Florida menggunakan pesawat domestik serta akomodasi hotel untuk mengikuti kegiatan Biometric Consortium Conference 2012 di Florida dari Johannes Marliem.
Hal tersebut diberikan atas peran Husni Fahmi dalam menetapkan spesifikasi teknis proyek E-KTP sehingga menggunakan produk milik perusahaan Johannes Marliem.
Sementara seluruh uang yang dibayarkan kepada konsorsium PNRI yang dipimpin Isnu edhi kemudian diteruskan ke anggota Konsorsium PNRI yaitu Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sandipala Artha Putra, PT Sucofindo, PT Mega Lestari Unggul dan selanjutnya diterima oleh Husni Fahmi, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Johannes Marliem, Anang Sugiana, Wahyuddin Bagenda, Setya Novanto, Irman, Sugiharto, Diah Anggraeni, Drajat Wisnu Setyawan yang berasal dari keuangan negara yakni bersumber dari selisih kemahalan harga sebagaimana yang tercantum dalam kontrak dengan harga yang sebenarnya dalam proyek penerapan KTP-el.
Hal tersebut mengakibatkan jumlah uang yang dibayarkan kepada konsorsium PNRI lebih mahal dibandingkan harga wajar atau harga riilnya dan mengakibatkan kerugian keuangan negara hingga Rp2,314 triliun.
Atas putusan tersebut, baik Husni Fahmi mapun Isnu Edhi Wijaya dan JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari.