JAKARTA - Tiga bank BUMN besar tercatat menunjukkan kinerja yang moncer di sepanjang 2019, terutama dari sisi penyaluran kredit. Bahkan, kinerja mereka berada di atas-atas kinerja industri perbankan nasional. Simak rangkuman VOI, tentang kinerja tiga bank BUMN tersebut yang dirangkum dari berbagai sumber.
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI)
BRI berhasil mencatatkan pertumbuhan kredit sebesar 8,4 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) sepanjang 2019, menjadi Rp908,8 triliun. Capaian ini jauh di atas kinerja kredit industri yang hanya tumbuh 6,08 persen yoy.
Direktur Utama BRI, Sunarso mengatakan, faktor utama penopang pertumbuhan kredit BRI adalah kinerja kredit mikro yang tumbuh tinggi, 12,1 persen yoy menjadi Rp307,7 triliun. Selain tumbuh tinggi, sekmen mikro ini juga berkontribusi 35,8 persen terhadap total portofolio kredit BRI.
“Pada 2020, diharapkan kontribusinya [sektor mikro] 40 persen dari total portofolio kredit,” ujar Sunarso.
Sunarso menuturkan, pihaknya akan terus menggenjot segmen mikro ini dengan berbagai strategi, terutama melalui pengembangan platform berbasis teknologi. Meski demikian, pertumbuhan kredit BRI pada 2019, justru menjadi yang terendah dalam lima tahun terakhir.
Hal itu yang menyebabkan laba bersih BRI tumbuh melambat dibandingkan dua tahun terakhir, yakni hanya 6,1 persen menjadi Rp34,4 triliun. Tapi untuk pertama kalinya, perseroan membukukan kenaikan pendapatan komisi (Fee-Based Income/FBI) dua digit, yakni 20,1 persen menjadi Rp14,2 triliun.
"Kami optimistis laba akan kembali tumbuh dua digit tahun ini, terutama jika target pertumbuhan kredit sebesar 10 persen yoy tercapai," ujar Sunarso.
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI)
BNI berhasil membukukan penyaluran kredit sebesar Rp556,78 triliun sepanjang 2019, tumbuh 8,6 persen yoy. Kendati pertumbuhan laba ini tidak sesuai ekspektasi BNI yang semula mematok target 11-13 persen yoy, tetapi tetap masih lebih tinggi dibandingkan capaian industri.
BNI hanya membukukan pertumbuhan laba bersih yang relatif tipis sepanjang 2019, yakni naik 2,5 persen yoy menjadi Rp15,4 triliun. Pertumbuhan ini terutama ditopang oleh FBI yang melonjak 18,1 persen yoy menjadi Rp11,36 triliun.
"Sekitar 27,4 persen dari FBI yang dihimpun perseroan berasal dari aktivitas bisnis internasional melalui kantor cabang di luar negeri," ujar Direktur Utama BNI Achmad Baiquni.
Namun, kontributor terbesar terhadap laba masih berasal dari pendapatan bunga bersih (Net Interest Income/NII). Sayangnya, pendapatan bunga bersih hanya tumbuh 3,3 persen yoy menjadi Rp36,6 triliun.
Akumulasi NII dan FBI perseroan menghantar BNI membukukan laba operasi sebelum pencadangan sebesar Rp28,32 triliun, atau tumbuh 5 persen yoy.
Pada 2020, BNI masih membuka peluang untuk mengakuisisi anak usaha baru guna mendukung pengembangan bisnis pada masa mendatang. Kendati demikian, perseroan akan tetap fokus pada pembenahan kinerja yang tengah dilanda pengetatan likuiditas.
“Pada akhir tahun [2019] beberapa BUMN menurunkan kreditnya, karena mereka menerima pembayaran. Tahun ini, tidak terlalu tinggi, kami ikuti seperti target [kredit] Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sekitar 10 persen,” ujar Baiquni.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk
Bank Mandiri masih mempertahankan kinerja positif sepanjang 2019, mengungguli dua bank BUMN di atas. Penyaluran kredit Bank Mandiri berhasil tumbuh 10,6 persen yoy menjadi Rp907,5 triliun, sedangkan laba bersih naik 9,86 persen yoy menjadi Rp27,5 triliun.
Di sisi lain, rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) perseroan juga turun ke level 2,33 persen. Ini merupakan level NPL terendah perseroan sejak 2017, yang sempat mencapai 3,98 persen.
Tahun lalu, total penyaluran kredit Bank Mandiri untuk proyek infrastruktur mencapai Rp209 triliun, tumbuh 14,6 persen yoy. Sementara itu, Kredit Usaha Rakyat (KUR) tumbuh 45,6 persen menjadi Rp32 triliun.
Direktur Utama Bank Mandiri Royke Tumilaar mengatakan, pada 2020, Bank Mandiri akan fokus pada pengembangan di tiga aspek. "Pertama, penguatan segmen wholeshale dengan mendorong pertumbuhan sumber dana murah dan FBI melalui peningkatan cross-selling nasabah korporasi dan komersial," jelas Royke.
Kedua, lanjt Royke, integrasi bisnis wholesale dan ritel dengan mengoptimalkan ekosistem nasabah wholeshale melalui bisnis payroll dan solusi value chain. Ketiga, mengembangkan digilitasasi layanan dan proses bisnis untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
"Laba memang sesuatu yang selalu sulit kami prediksi, prinsipnya kami akan jaga komponen bisnis yang dipastikan tahun ini lebih baik dari tahun lalu," tutur Royke.