Bagikan:

JAKARTA - Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menanggapi soal aduan warga ke meja pengaduan terkait pungli yang dilakukan oknum Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) DKI Jakarta kepada warga.

Heru menyebut laporan ini akan diserahkan kepada Inspektorat DKI Jakarta untuk mencari tahu siapa oknum pelaku pungli tersebut.

Hal ini Heru sampaikan saat meninjau meja pengaduan di teras pendopo Balai Kota DKI Jakarta pagi ini.

"Ya, itu ada mekanismenya. Biar inspektorat yang melayani," kata Heru di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu, 19 Oktober.

Nantinya, Inspektorat DKI Jakarta akan melakukan pemeriksaan kepada pihak terkait dan menuangkannya ke berita acara pemeriksaan (BAP) untuk menentukan pelanggaran yang dilakukan.

"Ada proses BAP," ujarnya.

Sebagai informasi, meja sebagai layanan pengaduan warga ini pernah diterapkan sejak era Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan Djarot Saiful Hidayat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Mulai Selasa, 18 Oktober, meja pengaduan dibuka mulai pukul 08.00 WIB hingga 09.30 WIB. Sebanyak 7 pengaduan dilaporkan pada Selasa kemarin, mulai dari masalah pungli hingga banjir.

Martina Gunawan, warga Bambu Apus, Jakarta Timur mengadukan masalah mengenai buruknya birokrasi pada Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) DKI. Keluarga Martina hendak mengajukan pembebasan lahan yang berada di jalur hijau.

Kami mengajukan lahan ini untuk dibebaskan oleh Pemprov DKI Jakarta, mulai dari tahun 2016. Setelah dilihat zonasinya, lahan milik kami ini hijau. Sehingga kami diberikan disposisi agar melanjutkan ke Dinas Kehutanan pada saat itu," kata Martina saat ditemui di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa, 18 Oktober.

Setelah mendatangi Distamhut, ternyata pihak Martina diminta untuk membayar. Unit pengelola teknis (UPT) yang mengurusi pembebasan lahan juga memproses pembebasan lahan itu dengan bertele-tele.

"Kami merasa dilakukan tidak profesional, memihak, bertele-tele, dan ada permintaan uang oleh oknum UPT di Dinas Taman. Nilainya variatif mulai dari Rp150 juta sampai 2,5 persen (dari nilai lahan). Tapi saya tidak mau bayar sepeser pun," jelas Martina.

"Terus terang kami sebagai warga biasa kami mengalami kebingungan," lanjutnya.