KPK: 62 Persen Calon Petahana di Pilkada 2020 Alami Penambahan Harta Kekayaan
KPK (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis Laporan Analisis Data LHKPN Calon Kepala Daerah 2020. Hasilnya, sebanyak 62 persen calon petahana mengalami penambahan harta kekayaan setelah memimpin daerahnya selama lima tahun.

"Petahana di periode pertama 62 persen hartanya meningkat. Ada yang meningkat Rp1 miliar, yang bertambah Rp100 miliar dua orang petahana, dan ada yang meningkat Rp10 miliar sampai Rp100 miliar 27 orang," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dalam konferensi pers yang ditayangkan di akun YouTube KPK RI, Jumat, 4 Desember.

"Sebagian besar bertambah Rp1 miliar sampai Rp10 miliar," imbuh dia.

Meski begitu, KPK jugaa mencatat ada calon petahana yang mengalami pengurangan harta kekayaan dibanding saat dirinya baru menjabat. "Bahkan berkurangnya dari mulai Rp10 miliar sampai Rp100 miliar," tegasnya.

Terkait pengurangan ini, komisi antirasuah menganalisa hal ini biasanya terjadi karena ada pelepasan aset yang dilakukan oleh calon kepala daerah. Sementara terkait penambahan harta kekayaan, KPK belum mau berspekulasi lebih jauh. 

Meski begitu, hasil analisa ini memang belum diklarifikasi kepada calon kepala daerah terutama yang petahana. Kata Pahala, klarifikasi ini dilakukan setelah mereka nantinya kembali terpilih.

"Ini belum kami klarifikasi karena walaupun dia calon petahana, kita masih lihat dia terpilih atau enggak ke depan," tegasnya.

Adapun alasan KPK tak melakukan klarifikasi kepada calon petahana secara langsung adalah untuk mencegah isu ini digunakan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, sehingga merugikan pencalonan mereka.

"Jadi kita pikir ini persoalan yang sensitif. Kan biasanya, kita undang untuk klarifikasi tapi namanya orang ke KPK kan enggak ditanya apakah pencegahan atau penindakan," ujar Pahala.

"Ini yang kemudian dikhawatirkan bisa mengganggu proses pencalonan dia," tambahnya.

Lebih lanjut, dari hasil analisis ini, calon petahana dianggap lebih siap dalam perihal pendanaan pilkada. "Hal ini tergambar dari dalam bentuk likuid atau kas dengan rata-rata Rp1,8 miliar dari rata-rata total harta Rp10,2 miliar," kata Pahala.

"Sementara non-petahana (lebih banyak, red) dalam bentuk non likuid berupa tanah dan bangunan dengan rata-rata kas Rp1,2 miliar dari rata-rata total harta Rp10,8 miliar," pungkasnya.