JAKARTA - Mantan Sekretaris NCB Interpol Indonesia, Brigjen Nugroho Slamet Wibowo memaparkan alasan di balik lamanya surat balasan yang dikirimkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung) perihal penerbitan red notice Joko Tjandra.
Hal itu disampaikan Slamet Wibowo ketika majelis hakim menanyakan penyebab lamanya surat balasan tersebut. Padahal surat yang dilayangkan Kejagung bersifat rahasia dan segera.
Dimana Kejagung melayangkan surat ke Divisi Hubungan Internasional (DivHubinter) Polri untuk menginformasikan jika membutuhkan red notice Joko Tjandra pada 14 April, tapi baru dibalas sekitar Juni.
"Kalau nggak salah waktu itu sempat terjeda ada keberangkatan ke Serbia," ujar Wibowo dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis, 3 Desember.
Kemudian, Slamet Wibowo merinci soal tujuan keberangkatan ke Serbia. Saat itu, tim dari DivHubinter memiliki akan menangkap Maria Pauline Lumowa.
Sehingga selama rentan waktu April sampai Juni, fokus mempersiapkan segala kebutuhan untuk menangkap buronan pembobolan bank BNI.
"Waktu itu terjeda pada saat proses kami persiapan keberangkatan untuk menjemput Maria Pauline Lumowa. Menjemput MPL ke Serbia," kata dia
BACA JUGA:
Bahkan dalam proses persiapan, Slamet Wibowo bilang, berulangkali mereka menggelar rapat. Karena itu, surat dari Kejagung yang bersifat rahasia dan segera terbengkalai.
"Kami rapat berkali-kali untuk mempersiapkan itu, sehingga itu tertunda di bulan Mei kalau nggak salah," kata dia.
Dalam kasus dugaan suap penghapusan red notice, penyidik menetapkan empat orang sebagai tersangka. Mereka berperan sebagai penerima dan pemberi.
Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo ditetapkan sebagai tersangka karena diduga sebagai penerima suap penghapusan red notice. Sementara Tommy Sumardi dan Djoko Tjandra ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan sebagai pemberi suap.
Joko Tjandra didakwa memberikan suap kepada Irjen Napoleon sebanyak SGD200 ribu dan USD270 ribu dan kepada Brigjen Prasetijo sebesar USD150 ribu.