JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil menilai operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjaring Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo harusnya menjadi bahan evaluasi bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurutnya, peristiwa ini mengindikasikan adanya sistem yang belum sempurna dalam pengawasan maupun pengendalian terhadap tindak korupsi di dalam kabinet yang dibentuk oleh eks Gubernur DKI Jakarta tersebut.
"Jadi evaluasi ini untuk bisa melihat apakah sistem pengawasan dan pengendalian para menterinya berjalan baik atau tidak," kata Nasir dalam acara diskusi Crosscheck yang ditayangkan di YouTube, Minggu, 29 November.
Dia mengatakan, Jokowi bisa saja berdalih dirinya tak bisa 24 jam menjaga kabinetnya. Tapi, bagi Nasir, penangkapan Edhy yang dilakukan oleh KPK ini tentunya akan berimbas pada pemerintah dan menunjukkan jika kepala negara gagal menjaga para pembantunya.
"Ketika peristiwa ini terjadi, mau tidak mau, ibaratnya wajah Jokowi kecipratan juga," tegasnya
"Karena ini menunjukkan belum adanya sistem pengawasan dan pengendalian yang benar-benar clear. Sehingga ini risikonya luar biasa dan dampaknya seperti gempa bumi di tubuh kabinet Jokowi," imbuhnya.
Diberitakan sebelumnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Dia ditangkap bersama sejumlah orang termasuk istrinya, Iis Rosita Dewi setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang dari Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.
Selanjutnya, dia ditetapkan sebagai tersangka penerima suap ekspor benur atau benih lobster bersama sejumlah orang lainnya.
Mereka yang turut ditetapkan sebagai penerima suap adalah staf khusus Menteri KP Edhy Prabowo, Safri (SAF) dan Andreau Pribadi Misanta (APM); Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK) Siswadi (SWD); Staf istri Menteri KKP Ainul Faqih, dan Amiril Mukminin (AM).
Sedangkan, Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito (SJT) ditetapkan KPK sebagai pemberi suap.
BACA JUGA:
Dalam kasus ini, Edhy diduga menerima uang suap sebesar Rp3,4 miliar yang kemudian sebanyak Rp750 juta digunakan untuk membeli barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat. Adapun barang yang dibelinya berupa tas, baju, hingga jam tangan mewah bermerk Rolex. Selain itu, dia juga diduga membeli sepeda dari hasil suap ini.
Saat ini, dia telah mengajukan surat pengunduran diri dan telah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Antam Novambar mengatakan, surat ini ditandatangani oleh Edhy pada Kamis, 27 November lalu atau sehari setelah dirinya ditahan di Rutan KPK.
"Surat pengunduran diri sudah ditandatangani Pak Edhy kemarin. Surat itu ditujukan ke Bapak Presiden," kata Antam dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Jumat, 27 November.
Setelah surat dikirim, pihaknya tinggal menunggu keputusan resmi dari Presiden Jokowi. Karena, hanya presiden yang berhak mengabulkan pemberhentian tersebut. Sambil menunggu keputusan ini, KKP kini dipimpin oleh Menko Maritim dan Investasi yang menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Ad Interim.