Penjara 21 Bulan untuk Pelempar Telur ke Kantor Polisi: Tepat di Mata Hong Kong, Lembek bagi China
Ilustrasi foto (Josep Chan/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Kericuhan politik di Hong Kong kembali berbuntut panjang. Pun Ho-chiu, seorang pria yang pernah melemparkan telur ke kantor polisi Hong Kong akan di penjara selama 21 bulan. Hukuman itu dijatuhkan pengadilan Hong Hong untuk menekan perbedaan politik di wilayah China.

Melansir CNN, Jumat, 27 November, hakim yang bertugas, Winnie Lau menganggap pelemparan telur bukanlah ancaman. China merespons hukuman Pun Ho-chiu. China beranggapan mereka yang melecehkan kepolisian harus dihukum seberat-beratnya.

Pemerintah China pun memperketat cengkeramannya di kota semi-otonom itu tahun ini. Otoritas China akan memperkenalkan Undang-Undang (UU) Keamanan Nasional yang baru untuk Hong Kong. Hal itu dipicu rasa tak percaya China terhadap para hakim di Hong Kong.

Tak hanya itu. Pemerintah China juga memandang para hakim terlalu lunak dan simpatik pada pengunjuk rasa. Surat kabar pro Beijing di Hong Kong, China Daily mengkritisi, secara teori hakim tidak boleh mengambil sisi politik di pengadilan.

Asosiasi Pengacara Hong Kong menentang sikap China. Dalam keterangannya, mereka menyesalkan serangan tak rasional dan tak terkendali terhadap kehakiman Hong Kong oleh China. Mereka juga mendesak media berhenti memanas-manasi dan berspekulasi tentang keyakinan politik para hakim.

Pengaruh China, bagaimanapun masih besar. Ketua Mahkamah Agung Geoffrey Ma langsung mencopot hakim Pengadilan Negeri Kwok Wai-kin. Hakim itu dianggap pro pengunjuk rasa.

"Para hakim memiliki tanggung jawab berdasarkan Undang-undang Dasar, yang merupakan hak masyarakat, untuk menjalankan kekuasaan peradilan independen dengan mengadili kasus secara adil dan tidak memihak, tanpa rasa takut atau bantuan," kata Ma dalam sebuah pernyataan.

Pro-kontra UU Keamanan Nasional

Hong Kong telah lama memilih aturan peradilan sendiri. Hal itulah yang membuat Hong Kong berbeda dengan China. Di China, pengadilan harus tunduk pada keinginan Partai Komunis yang berkuasa. Dalam kondisi itu, biasanya kasus yang diperkarakan, sekitar 99 persen berakhir dengan vonis bersalah.

Namun, kemandirian Hong Kong dalam urusan hukum semakin dibatasi dengan UU Keamanan Nasional yang baru. Pekan lalu, keseluruhan oposisi demokratis bahkan telah mengundurkan diri dari badan legislatif kota. Pemicunya tak lain karena pemerintah China telah bergerak mengusir anggota parlemen yang tak sepaham.

Oleh karena UU Keamanan Nasional, pemerintah Hong Kong dipaksa segera meminta semua pegawai negeri bersumpah setia kepada aturan. Disinyalir hal itu jadi tanda bahwa Hong Kong akan bergerak menuju sistem peradilan yang sama seperti China.

Salah satu pejabat tinggi China di Hong Kong, Zhang Xiaoming mengungkap bahwa reformasi UU diperlukan untuk peradilan kota. Patriotisme, kata Zhang harus menjadi yang utama sebelum berbicara demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia yang sebelumnya digemakan oleh rakyat Hong Kong.

"Kita harus mempertahankan aturan hukum kota, tetapi kita juga harus menjaga tatanan konstitusional nasional," kata Zhang.

Senada dengan Zhang, Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam mengatakan Undang-Undang Keamanan Nasional sudah memiliki efek yang diinginkan. Undang-Undang tersebut dianggap sangat efektif dalam memulihkan stabilitas di Hong Kong dan mengakhiri unjuk rasa.

Lam menambahkan bahwa Departemen Kehakiman Hong Kong akan terus menunjukkan jati diri sebagai pusat pelaksanaan hukum internasional yang netral dan efektif. Tetapi, Undang-Undang Keamanan Nasional yang baru juga dapat menjerat anggota parlemen yang melanggar pengambilan sumpah jabatan. Apalagi, yang mendukung pengunjuk rasa.

Seketika, gelombang protes langsung menghampiri pemerintah China. salah satu yang paling kencang mengungkap ketidakpuasannya adalah Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab. Menurutnya, pengadilan independen Hong Kong lebih cocok dibanding peradilan yang dirancang pemerintah China.

"Peradilan independen Hong Kong adalah landasan kesuksesan ekonomi dan gaya hidupnya. UU Keamanan Nasional baru menetapkan bahwa Kepala Eksekutif Hong Kong, bukan Ketua Mahkamah Agung, yang akan menunjuk hakim untuk menyidangkan kasus keamanan nasional,” kata Raab.

“Selain ketentuan dalam Undang-undang Keamanan Nasional yang memungkinkan otoritas daratan untuk mengambil yurisdiksi atas kasus-kasus tertentu tanpa ada pengawasan independen, dan untuk mengadili kasus-kasus tersebut di pengadilan China, langkah ini jelas berisiko merusak independensi peradilan Hong Kong," tutupnya.