SURABAYA - Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menginstruksikan pembentukan satgas perlindungan siswa di sekolah kepada Dinas Pendidikan setempat karena maraknya tindak kekerasan fisik yang terjadi di lingkungan pendidikan akhir-akhir ini.
"Banyak kasus tindak kekerasan terjadi karena ketidaktahuan pelaku maupun korban. Beberapa tindakan kekerasan dianggap sebagai sesuatu yang biasa, tetapi sebenarnya berpengaruh besar pada diri korban," ujar Khofifah di Surabaya dilansir ANTARA, Kamis, 22 September.
Dalam satu bulan terakhir, di Jawa Timur terjadi dua kasus kekerasan hingga mengakibatkan seorang siswa meninggal dunia, di antaranya terjadi di salah satu SMK di Jember pada bulan Agustus 2022 yang lalu.
Aksi kekerasan fisik menimpa seorang siswa kelas X yang setelah dirawat di rumah sakit, siswa tersebut meninggal dunia.
Kejadian lainnya menimpa seorang pelajar SMA kelas XI di Sidoarjo yang juga setelah dirawat di rumah sakit, meninggal dunia karena pendarahan otak.
Menurut Khofifah, secara formal tanggung jawab sekolah adalah selama siswa berada di sekolah dan pada jam sekolah. Namun pembentukan karakter siswa juga dilakukan di sekolah sehingga perlindungan anak menjadi tanggung jawab bersama.
Salah satu bentuk kekerasan lanjut Khofifah, adalah mempermalukan seseorang di depan orang lain, menuliskan komentar yang menyakitkan di sosial media, mengancam, menakut-nakuti orang lain sampai yang bersangkutan tidak nyaman.
Selanjutnya, menyebarkan cerita bohong mengenai orang lain, termasuk dalam tindakan kekerasan yang seringkali terjadi namun tidak dianggap serius sehingga berulang.
"Dengan mengetahui bentuk-bentuk kekerasan dan faktor yang membuat seseorang melakukan tindak kekerasan, kita akan menjadi lebih mawas diri agar tidak menjadi pelaku maupun korban kekerasan," katanya.
BACA JUGA:
Menanggapi instruksi tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Wahid Wahyudi menuturkan pihaknya telah mendorong semua kepala sekolah melalui cabang dinas pendidikan wilayah untuk membuat satgas perlindungan siswa di sekolah.
"Ini sesuai instruksi Bu Gubernur untuk mencegah terjadinya kekerasan fisik maupun non fisik di lingkungan sekolah," katanya.
Dalam pembentukan ini, sesuai arahan Gubernur, kata Wahid, pihak yang terlibat menjadi keanggotannya adalah sekolah, orang tua siswa atau komite, dan siswa atau OSIS.
Sementara bagi sekolah dengan boarding school yang ada di kawasan pesantren atau kawasan lainnya, perlu ditambahkan perwakilan dari pesantren atau pengelola asrama.
Wahid berpesan agar sekolah terus mengoptimalkan dan memperkuat ekstrakurikuler siswa. Menyalurkan dan memaksimalkan potensi, bakat dan minat siswa, sehingga peluang untuk melakukan kekerasan pada teman sebayanya tidak terjadi.
"Para guru juga harus menyusun pembelajaran yang terintegrasi dengan program anti kekerasan. Intrakurikuler dan kurikuler juga harus diperkuat," ujar dia.