Bagikan:

JAKARTA - Forum Peduli Pulau Pari mengkhawatirkan krisis iklim yang mengancam Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Kelompok masyarakat yang sebagian besar berprofesi nelayan Pulau Pari ini menyatakan, kini 11 persen permukaan pulau Pari telah menghilang ke laut. Diprediksi, sebagian besar pulau bisa terndam pada 2050.

Warga Pulau Pari saat ini merasa terancam kehilangan mata pencaharian. Bukan tidak mungkin pantai-pantai wisata akan hilang. Hal ini pun berimbas pada pariwisata lokalnya. Tidak hanya itu, air sumur warga juga telah terkontaminasi air asin akibat kenaikan permukaan air laut.

Lewat keterangan tertulis, salah satu Nelayan Pulau Pari, Edi Mulyono mengaku dirinya telah merasakan kerugian dari kondisi ini. Kata dia, banjir rob pada 2019 dan 2020 sempat menjadi rob paling besar yang pernah terjadi selama pulau ini ditinggali.

"Air laut terus naik, banjir rob terjadi semakin sering dan semakin besar. Akibat dari krisis iklim ini warga harus selalu waspada, beberapa sumur bahkan sudah tidak bisa digunakan karena tercemar air laut. Warga di bagian barat dan di RT 1 juga harus meninggikan rumahnya setiap tahun," tutur Edi, Rabu, 21 September.

"Pulau kami akan tenggelam, di mana kita akan tinggal?" keluhnya.

Kepala Divisi Kajian Hukum Lingkungan Walhi Nasional, Puspa Dewy menyatakan ancaman lingkungan hidup Pulau Pari bukan tanpa sebab. Salah satu perusahaan, PT H disebut Puspa, menjadi penyebabnya.

Perusahaan yang bergerak di industri semen untuk bahan produksi beton disebut memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan emisi global, termasuk penderitaan lebih dari seribu jiwa lainnya di Pulau Pari.

Produksi semen untuk bahan produksi beton ini, setidaknya telah melepaskan karbon dioksida dalam kuantitas yang cukup besar. Industri ini bertanggung jawab atas sekitar 8 persen emisi global CO2 tahunan. Oleh karena itu, mereka dijuluki sebagai carbon major.

"Grup (PT H) termasuk dalam daftar carbon major tersebut, dengan penjualan hampir 27 miliar franc (2021), dan merupakan produsen bahan bangunan terbesar di dunia. Saat ini PT H mengoperasikan 266 pabrik semen dan stasiun penggilingan di seluruh dunia, dan merupakan pemimpin pasar global untuk industri semen," ucap Puspa.

Puspa menuturkan, alih-alih menjadi beban bagi negara-negara kaya asalnya di Utara, beban justru dirasakan oleh warga yang sangat jauh di Pulau Pari. Perubahan iklim telah menuntun tingginya permukaan air laut, badai, gelombang tinggi atau gelombang pasang, serta menyebabkan terjadinya cuaca ekstrim yang mengakibatkan banjir.

"Semakin tinggi suhu global, semakin sering dan ekstrim banjir yang terjadi. Ini mengancam eksistensial bagi pulau-pulau kecil dan daerah-daerah dengan pesisir dataran rendah," urainya.

Atas dasar itu, Puspa menyebut Forum Peduli Pulau Pari menuntut PT H ke pengadilan Swiss. Mereka menuntut PT H untuk bertanggung jawab atas ancaman keselamatan warga Pulau Pari dan mengganti kerugian sebagai kompensasi atas kerusakan material.

"Dalam gugatannya warga juga menuntut PT H untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya sebesar 43 persen pada tahun 2030 dan 69 persen pada tahun 2040. PT H juga dituntut wajib menanggung biaya tindakan mitigasi perubahan iklim yang diperlukan di Pulau Pari. Ini termasuk penanaman bakau dan/atau pertahanan banjir," imbuhnya.