JAKARTA - Pemprov DKI kembali menetapkan tiga objek cagar budaya baru di Jakarta. Ketiganya, yaitu Jalan Pasar Baru, Batu Penggilingan dan Prasasti Padrao.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana menetapkan penetapan ini dilakukan setelah melalui proses kajian yang dilakukan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Provinsi DKI Jakarta dan ditetapkan melalui Keputusan Gubernur.
"Penetapan Kompleks Pasar Baru sebagai Situs Cagar Budaya dikarenakan bangunan pada kawasan ini memiliki struktur cagar budaya yang menyimpan informasi mengenai kegiatan manusia pada masa lalu. Sehingga keberadaannya perlu dilestarikan dan dilindungi," kata Iwan dalam keterangannya, Rabu, 21 September.
Sebagai informasi Kompleks Jalan Pasar Baru merupakan kawasan perdagangan yang telah berkembang sejak awal abad ke-19.
Di dalam Kompleks Jalan Pasar Baru terdapat beberapa bangunan dan struktur yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya sebelumnya.
Sementara, Batu Penggilingan merupakan cikal bakal perkembangan industri gula tradisional di Indonesia, yang menunjukkan kemampuan masyarakat pada masa lalu dalam mengolah bahan mentah menjadi sebuah produk. Selain itu, nama 'Penggilingan' juga diadopsi menjadi nama daerah tempat batu tersebut berada.
Batu Penggilingan sudah ada pada abad ke-17. Setidaknya, ada 6 buah batu penggilingan tebu yang berada di Jalan Raya Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur.
Kemudian, Prasasti Padrao merupakan koleksi dari Museum Nasional Indonesia. Batu Padrao memiliki ketinggian sekitar 2,5 meter dan memiliki 4 sisi, namun hanya dua sisi yang tampak ada inskripsinya, sedangkan dua bagian lain tidak memiliki inskripsi, hanya saja memiliki pahatan yang kemungkinan besar dibuat oleh tangan manusia.
BACA JUGA:
Prasasti yang dibuat pada tahun 1522 ini merupakan penanda khas bangsa Portugis di setiap wilayah yang dikunjungi. Prasasti ini juga merupakan bukti kehadiran awal bangsa Eropa di wilayah Kerajaan Padjajaran dan menunjukkan sikap keterbukaan kerajaan di Nusantara kepada setiap pendatang.
Pada tanggal 21 Agustus 1522, Batu Padrao ini menjadi penanda perjanjian internasional antara Kerajaan Sunda (Pajajaran) dan Portugis yaitu Surawisesa dan Henrique Leme. Kehadiran Prasasti Padrao ini juga sekaligus menjadi penanda pembangunan Sunda Kelapa sebagai salah satu zona ekonomi pada masa itu.