YOGYAKARTA - Sebanyak lima mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) menciptakan bantal antibakteri dan tungau berbahan limbah sabut kelapa, enceng gondok, dan ekstrak daun sirih.
Mahasiswa Sekolah Vokasi UGM Marsyela Tri Aryani menuturkan, ide pembuatan bantal bermula dari keprihatinan terhadap persoalan eutrofikasi tanaman enceng gondok yang merusak perairan karena pertumbuhannya relatif cepat, serta banyaknya limbah sabut di masyarakat yang belum termanfaatkan dengan baik.
"Kami ingin mengolah limbah-limbah tersebut dan berpikir mengembangkan produk yang lekat dengan kebutuhan manusia berbahan kedua limbah itu. Lalu, tercetus ide membuat bantal," ujarnya saat jumpa pers di Ruang Fortakgama UGM di Yogyakarta, Antara, Jumat, 2 September.
Produk yang diberi nama 'Bangau (Bantal Antibakteri dan Tungau) dirancang oleh Marsyela bersama Silvia Rahmawati, Alda Anisah, dan Rizal Aziz Pradana dari Sekolah Vokasi UGM, serta Luthfia Uswatun Khasanah dari Fakultas Biologi UGM.
Setelah melakukan kajian pustaka dari sejumlah jurnal, mereka menemukan fakta bahwa enceng gondok berpotensi sebagai tanaman obat.
Kelima mahasiswa tersebut merancang produk bantal antibakteri dan tungau dengan konsep natural. Mereka membuat bantal dengan 100 persen bahan alami mulai dari isian hingga luaran bantal sehingga tidak hanya mengurai persoalan lingkungan, tetapi juga menghadirkan produk yang bermanfaat bagi kesehatan.
Eceng gondok, katanya, mengandung senyawa aktif fenol, flavonoid, tanin, alkaloid, terpenoid, steroid, dan glikosida yang memiliki peranan secara biologis sebagai antioksidan, antijamur, antibakteri, dan antikanker.
Produksi bantal antibakteri itu, kata dia, diawali dengan penganyaman eceng gondok kering menjadi berbentuk lilitan kecil maupun sedang. Berikutnya, anyaman bantal direbus dengan ekstrak daun sirih agar ekstrak dapat tercampur merata pada anyaman.
Setelah itu, pengeringan dan penyemprotan kembali ekstrak daun sirih secara merata, lalu anyaman dimasukkan ke plastik selama 12 jam agar ekstrak daun sirih meresap dalam anyaman.
"Selanjutnya dilakukan pengolahan sabut kelapa sebagai bahan isian bantal. Pengolahan untuk mengubah sabut kelapa yang kasar menjadi tekstur yang hampir menyerupai woll atau benang," kata dia.
Menurut dia, daun sirih menjadi unsur penting pembuatan bantal antibakteri karena mengandung senyawa yang berperan sebagai antibakteri yaitu saponin, tanin, flavonoid, dan fenol.
Dalam daun sirih juga terdapat minyak atsiri yaitu clavikol yang berperan mematikan agen Sarcoptes scabiei dalam menghentikan aktivitas tungau agar permukaan luka tidak memburuk.
Tahapan terakhir, katanya, memasukkan serat woll dari sabut kelapa dan limbah biji kapuk randu untuk menambah volume bantal sebelum dilakukan penjahitan.
Produk Bangau dibuat berbentuk segi empat berukuran 35x35 cm berwarna cokelat dengan nuansa alami dan tradisional.
Silvia Rahmawati menuturkan perawatan Bangau cukup mudah karena tidak perlu memakaikan atau mengganti sarung bantal.
Bantal, kata dia, cukup dijemur di bawah panas Matahari lalu diberikan spray antibakteri dan diangin-anginkan.
Selain memiliki fungsi kesehatan, menurut dia, bantal itu juga mendukung upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya hayati di Indonesia, serta ramah lingkungan.
"Bangau hadir sebagai alternatif pengganti bantal kapuk dan sintetis yang diharapkan bisa meningkatkan kualitas tidur pengguna dan merasa aman karena ada fungsi kesehatan sebagai antibakteri dan tungau," ujarnya.
BACA JUGA:
Sebanyak lima mahasiswa UGM itu menjual satu paket produk Bangau disertai dengan cairan spray antibakteri berukuran 30 ml secara langsung maupun melalui toko daring seharga Rp115.000.