Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menekankan pentingnya ada pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Saya katakan itu perlu. Karena inti penghinaan itu hanya dua, yaitu menista dan fitnah," kata Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hieriej di Jakarta, Senin 29 Agustus.

Wamenkumham berpandangan menista seseorang sama halnya dengan merendahkan martabatnya. Sebagai contoh hal itu seperti menyamakan seseorang dengan hewan atau binatang.

Kemudian, di dalam ajaran agama manapun tidak ada yang mengajari atau membenarkan tentang fitnah. Oleh karena itu, ia mengaku heran adanya pihak yang menganggap pasal penghinaan Presiden sama dengan membungkam kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan berdemokrasi.

"Jelas-jelas menghina itu beda dengan bebas berpendapat," ujarnya.

Ia menjelaskan, yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 ialah kebebasan berdemokrasi, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berekspresi, bukan kebebasan menghina.

"Jadi inti dari menghina itu adalah fitnah," ujar dia.

Di beberapa kesempatan Wamenkum menegaskan menghina dan mengkritik adalah dua hal yang berbeda secara prinsip.

Kemudian jika ada anggapan yang mengkhawatirkan terjadinya multitafsir soal pasal penghinaan Presiden oleh aparat penegak hukum, ia mengatakan di situlah letak pentingnya memberikan penjelasan agar tidak terjadi multitafsir sedemikian rupa.

"Jadi sudah kita katakan dalam penjelasan bahwa bukan merupakan penyerangan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden apabila untuk kepentingan umum," jelasnya.

Lebih jelasnya yang disebut sebagai kepentingan umum, paparnya, ialah yang menyangkut dengan kritik terhadap kebijakan Presiden dan Wakil Presiden. Artinya, pasal yang mengatur soal penghinaan Presiden bukan untuk mengekang demokrasi.