Bagikan:

JAKARTA - Komitmen Presiden Prancis Emmanuel Macron melawan perubahan iklim kembali dipertanyakan. Pengadilan tertinggi di Prancis memberi tenggat waktu kepada Macron untuk memastikan ia memenuhi komitmennya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca di Prancis dalam tiga bulan ke depan.

Melansir Reuters, Jumat, 20 November, dalam putusan Conseil d’Etat, pihak pengadilan melihat kebijakan iklim Macron tak menunjukkan hasil signifikan. Padahal Prancis merupakan tempat di mana Perjanjian Paris 2015 tentang perubahan iklim dilangsungkan.

Namun, pengadilan justru mencatat Prancis telah meleset dari target dan telah banyak menunda-menunda rencana pengurangan emisi pada 2020. Alhasil, Pengadilan Tinggi Prancis kemudian turut tangan memberi peringatan.

"Jika pembenaran yang diberikan oleh pemerintah tidak memuaskan, Conseil d'Etat kemudian dapat mempertimbangkan untuk mengambil langkah lebih lanjut guna mencapai target 40% pengurangan emisi pada tahun 2030," kata pengadilan dalam siaran pers.

Sebelumnya, kasus ini dibawa ke pangadilan oleh Komune Grande-Synthe di Prancis Utara.Otoritas kota di Prancis Utara menilai upaya Macron dalam menghalau perubahan iklim sangat minim. Alhasil, kota mereka yang dibangun di atas tanah reklamasi terancam tenggelan karena kenaikkan permukaan air laut yang disebabkan pemanasan global.

Untuk itu, atas langkah pengadilan tinggi mengeluarkan keputusan final, para aktivis lingkungan hidup di Prancis menganggap keputusan Conseil d’Etat adalah keputusan bersejarah. Sebab, pemerintah tak dapat mengajukan banding. Selain dengan tetap dalam lajur mengurangi emisi sesuai yang ditargetkan.

"Dengan menegaskan sifat mengikat dari target pengurangan emisi gas rumah kaca yang terkandung dalam undang-undang, pengadilan tertinggi administrasi menempatkan negara berhadapan langsung dengan tanggung jawabnya dalam krisis iklim," kata Greenpeace dan Oxfam dalam pernyataan bersama dengan dua LSM lingkungan lainnya.