Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyusun peraturan mengenai penyelenggaraan nilai ekonomi karbon pembangkit listrik untuk mewujudkan komitmen pemerintah dalam pengendalian emisi gas rumah kaca di sektor energi.

"Saat ini kami sedang menyusun Rancangan Peraturan Menteri ESDM tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon pada pembangkitan tenaga listrik," kata Direktur Teknik dan Lingkungan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Mohamad Priharto Dwinugroho dikutip dari Antara, Selasa 31 Mei.

Nugroho mengatakan, setiap pelaku usaha di pembangkitan tenaga listrik wajib menyampaikan pelaporan emisi gas rumah kaca kepada Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM melalui aplikasi APPLE-Gatrik.

Setiap pelaku usaha yang tidak menyampaikan laporan emisi gas rumah kaca, maka tidak diperbolehkan untuk melakukan perdagangan karbon dan seluruh emisi gas rumah kaca yang dihasilkan di atas batas atas emisi gas rumah kaca dikenai pajak karbon.

Ia menjelaskan, dampak perdagangan karbon pada pembangkitan tenaga listrik, di antaranya mendorong PLTU untuk melakukan upaya-upaya pengurangan emisi gas rumah kaca melalui kegiatan, seperti pemasangan PLTS atap, co-firing, efisiensi energi, dan kegiatan mitigasi lainnya.

Sedangkan bagi unit pembangkitan yang memiliki defisit emisi harus membeli emisi dari unit pembangkit yang memiliki surplus emisi maupun offset sebesar seluruh defisit emisi unit pembangkit tersebut.

"Jika tidak melakukan perdagangan karbon sama sekali atau masih terdapat sisa emisi, maka akan dikenakan pajak karbon," ujar Nugroho.

Kemudian untuk unit PLTU yang sudah tidak efisien dan memiliki emisi yang tinggi akan diperhitungkan untuk dimasukkan dalam program pensiun dini PLTU untuk digantikan ke pembangkit energi baru terbarukan.

Sedangkan peluang perdagangan karbon di pembangkitan tenaga listrik pada pelaksanaannya terdapat potensi insentif yang akan diterima oleh unit PLTU yang menghasilkan emisi di bawah persetujuan teknis emisi yang telah ditetapkan, karena status defisit unit PLTU lebih besar dari unit surplus dan harga karbon akan meningkat.

Selanjutnya, terdapat potensi Insentif yang akan diterima oleh pembangkit energi baru terbarukan yang telah mendapatkan Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE). Hal tersebut dapat memicu pengembangan pembangkit energi baru terbarukan yang lebih masif.

Dalam rangka memenuhi target kesepakatan dalam Perjanjian Paris dan melaksanakan komitmen yang sudah disetujui bersama negara-negara di dunia untuk menjaga kenaikan temperatur global tidak melebihi 2,0 derajat celcius.

"Targetnya kita menjaga di 1,5 derajat tidak lebih dari itu," ujar Nugroho.