Bagikan:

JAKARTA - Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat, Kamsul Hasan meminta para wartawan untuk hati-hati dalam membuat berita mengenai seorang anak yang sedang berhadapan dengan kasus hukum.

Sebab, ada ancaman pidana kurungan penjara jika wartawan membeberkan identitas anak yang sedang tersandung masalah hukum. Hal ini dilontarkan Kamsul saat memberi materi pelatihan kepada VOI.

Kamsul menyebut, identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak atau elektronik. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

"Identitas tersebut meliputi nama anak, nama orang tua, alamat berupa desa hingga nomor rumah, wajah,

dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak," kata Samsul pada Kamis, 19 November.

Jika ada konten yang membuka identitas anak, wartawan bisa dikenakan dua jenis pidana, yakni UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan UU SPPA. Kamsul bilang, jika penetapan pelanggaran hanya dilandaskan kepada UU Pers, hanya dikenakan sanksi administrasi oleh Dewan Pers atau KPI.

Namun, korban atau keluarga korban dapat melaporkan wartawan yang membuka identitas sang anak menggunakan UU SPPA jika mereka tidak menerima pembukaan identitas tersebut.

"UU SPPA adalah delik aduan, sehingga yang dapat melaporkan pelanggaran kasus ini hanya korban dan keluarga korban. Sementara, masyarakat atau pegiat hanya dapat menjadi pendamping atau tim advokasi," ungkap ahli Dewan Pers tersebut.

Adapun sanksi yang bisa dikenakan dari pelanggaran UU SPPA adalah pidana maksimal 5 tahun kurungan penjara dan denda Rp500 juta. Sistem pertanggungjawabannya air terjun. Artinya, setiap orang yang dikenakan pidana bisa lebih dari satu.

"Kemudian, kedaluwarsa (lewat waktu) adalah 12 tahun. Jadi, selama pemberitaan soal pembukaan identitas anak masih belum ditayangkan selama 12 tahun, maka tindak pidana masih bisa dibebankan," sebut dia.