KUPANG - Bintara Pembina Desa (Babinsa) TNI Angkatan Darat (AD) turut mengambil bagian dalam pemberdayaan masyarakat.
Sebagai elemen paling bawah dari hirarki TNI AD, Babinsa sebagai ujung tombak di lapangan telah memberi banyak kontribusi dalam proses pembangunan selain kapasitasnya sebagai alat pertahanan negara.
Seperti kisah Sersan Dua Antonius Saet, Babinsa Koramil 02/Camplong. Selain melakukan pemberdayaan masyarakat di wilayah tugasnya, ia Juga membina masyarakat penggiat kelor di kediamannya yang terletak di RT 07/RW 11 Kelurahan Liliba, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang.
"Saya mulai memberdayakan warga binaan (untuk mengelola Kelor, red) di tempat tugas sejak tanggal 23 Februari 2022. Pertama kali di Koramil Camplong," katanya saat memulai ceritanya, dikutip dari Antara, Senin, 22 Agustus.
Seiring berjalannya waktu, Antonius mulai memberdayakan puluhan rumah tangga dan anak anak usia sekolah untuk pengolahan Kelor di kediaman pribadi.
Beberapa ibu rumah tangga tangga yang saban hari duduk tanpa aktivitas di rumah, dia ajak untuk bersama-sama menjadi pekerja untuk mengelola daun kelor, dengan cara melepaskan daun kelor dari tangkai kelor.
Kini anggotanya yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak berjumlah sekitar 35 orang. Ia memberi nama kelompoknya Kelor Kasih. Setiap hari anggota kelompoknya berjibaku melepaskan daun kelor dari tangkai kemudian ditimbang.
Lama waktu kerja hanya berkisar dari empat sampai lima jam. Dalam waktu empat-lima jam itu para pekerjanya bisa menghasilkan 50 sampai 60 kilogram daun kelor basah setiap harinya..
Harga daun kelor basah yang dijual per kilogramnya Rp5.000. Dari harga tersebut, ia kemudian menyisihkan sebagian untuk biaya operasional agar bisa mengambil dan mengantar Kelor ke sentra produksi yang berada di Koramil 02 Camplong kabupaten Kupang.
Sehingga dari Rp5.000 itu, ia kemudian menyisihkan Rp3.000 untuk para ibu yang bekerja, sisanya untuk biaya operasional atau mobilitas.
Lokasi pengiriman terbilang cukup jauh. Karena jarak dari Kota Kupang ke Koramil Camplong mencapai kurang lebih 70-an kilometer.
Ia pun terpaksa membayar bus dengan rute Kupang-Kefa atau Kupang-Atambua untuk membawa titipan tersebut ke Koramil Camplong dengan biaya sekali antar digunakan dari sakunya.
Karena itu, ia berdiskusi dengan anggota kelompoknya untuk menentukan harga beli dari tangan anggotanya untuk menutupi biaya operasional.
Untuk kelor yang dicari oleh Antonius, setiap anggota kelompok mendapat upah Rp2.000 setiap kilogram sekali merontokkan daun kelor. Sementara itu kelor yang dijual oleh anggota kelompok artinya diambil dari kebun anggota kelompok maka dihargai dengan harga Rp3.000 perkilogram.
Pemasukan yang ada dari hasil jual kelor itu, kemudian dikumpulkan dan lika lebih maka akan digunakan untuk membeli peralatan sekolah, seperti buku tulis, dan pulpen dan pensil untuk diberikan kepada anak-anak di daerah itu.
Dengan dukungan dari istrinya, Antonius kemudian semakin semakin memberdayakan mama-mama yang ada di wilayah kerjanya, untuk mendapatkan uang saku tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
"Saya tidak ambil untung dari itu. Saya justru dapat tambahan uang saku untuk operasional dari kantor sebesar Rp1 juta dan ini sudah sangat cukup," katanya.
Dalam anggota kelompoknya, dia tidak hanya melibatkan mama-mama, tetapi juga ada beberapa anak-anak yang masih berada di bangku sekolah dasar (SD) untuk diikutsertakan.
Namun bukan berarti anak-anak itu bolos sekolah. Mereka yang terlibat diwajibkan untuk ke sekolah. Namun, sebelum berangkat pada pagi hari, anak-anak itu diizinkan untuk membantu merontokkan daun kelor.
"Mereka dapat uang saku dari menimbang berat daun kelor yang sudah dirontokkan," tambah dia.
Dari hasil pemberdayaan itu, mama-mama di wilayah kerja Antonius setiap pekan bisa mendapatkan uang saku berkisar dari Rp150.000 hingga Rp200.000 per pekannya.
Terkadang juga ada mama-mama yang menyimpannya dan akhir bulan baru satu kali terima honor. Semuanya melalui pencatatan yang dilakukan oleh istri Antonius.
Mama Matilda Talan yang sehari hari ikut merontokkan daun kelor merasa terbantu secara ekonomi dari aktivitas itu. Dirinya sudah bergabung sejak awal kelompok Kelor Kasih itu dibentuk.
Setiap hari, Mama Matilda mengumpulkan 6 kilogram daun kelor hingga 12 kilogram daun kelor basah. Itu pun dilakukan hanya pada pagi hari saja, sebab sebagai ibu rumah tangga, dia harus kembali ke rumah untuk melakukan pekerjaan rutin rumah tangga.
Dengan sedikit berlinang air mata, Matilda merasa bersyukur karena adanya program itu, karena bisa membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga, apalagi suaminya hanyalah buruh.
Aktivitas kelompok Kelor Kasih akhirnya sampai ke telinga Julie Sutrisno Laiskodat. Sosok ketua Dekranasda NTT sekaligus istri Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat ini berkunjung ke lokasi Kelompok Kelor Kasih.
Kedatangan istri dari Gubernur NTT yang juga mempunyai perhatian kepada kelor, membuat Antonius kaget. Ia sampai bertanya-tanya mengapa Julie Laiskodat bisa mengetahui kelompok itu. Pasalnya, biasanya dia dan kelompoknya hanya didatangi Kasi Pers Dandim 1604 Kupang serta pejabat TNI lainnya.
Kedatangan istri orang nomor satu di NTT itu membuat Antonius sempat malu tak bisa menyediakan tempat yang layak di lokasi perontokan daun kelor basah.
Namun, pada dasarnya, dia merasa lebih bahagia lagi karena usahanya untuk memberdayakan warga guna mengelola Kelor didengar Julie Laiskodat.
Selain itu, dia juga merasa bangga dan bersyukur karena niatnya untuk memberdayakan warga selain menghasilkan uang, juga mempererat rasa kekeluargaan antara warga.
Antonius berharap semoga program program pengelolaan kelor ini bisa berkelanjutan, sehingga para ibu dan anak-anak bisa mendapatkan manfaatnya.
BACA JUGA:
"Kalau bisa ada pabriknya supaya anak-anak kami bisa bekerja di sana," tutupnya.