JAKARTA - Usai diperiksa oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Marzuki Alie mengaku dirinya ditanya terkait dugaan peminjaman uang sebesar Rp6 miliar yang diberikannya kepada Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto yang merupakan tersangka dalam kasus suap terhadap mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menantunya, Riezky Herbiyono.
Menurut Marzuki, dia tidak pernah memberikan pinjaman uang kepada Hiendra apalagi hingga Rp6 miliar seperti yang disebutkan oleh dalam berita acara pemeriksaan (BAP) milik Hengky Soenjoto.
"Katanya saya minjemin uang berapa miliar. Ya, tunjukkan aja buktinya, kan. Itu ngawur kok. Minjemin uang enggak ada urusan, emangnya uang sedikit Rp6 miliar. Lucu kan," kata Marzuki usai melaksanakan pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin, 16 November.
Meski begitu, politikus Partai Demokrat ini tak memberikan bantahan lebih lanjut. Karena dirinya mengaku tak mengerti masalah kasus yang menjerat Hiendra dan mantan Sekretaris MA Nurhadi serta menantunya, Riezky Herbiyono. "Saya enggak perlu membantah," tegasnya.
"Tunjukkan saja kalau ada transfer. Bukti transfernya tunjukkin kan gampang kan, gampang kok kita menelusuri. Jadi enggak perlu cerita-cerita kosonglah. Tunjukkan nih, ada Marzuki transfer kan gitu. Kalau enggak nunjukkin enggak usah ngomonglah," imbuhnya.
Diberitahukan, penyidik lembaga antirasuah memanggil mantan Ketua DPR RI 2009-2014 Marzuki Alie. Dia akan diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait perkara di Mahkamah Agung (MA) yang melibatkan mantan Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono dan sejumlah nama lain, termasuk Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto.
"Marzuki Alie mantan Ketua DPR RI diperiksa sebagai saksi untuk tersangka HS (Hiendra Soenjoto) dalam perkara suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di Mahkamah Agung pada tahun 2011-2016," kata Ali dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Senin, 16 November.
Hanya saja, dia enggan menjelaskan lebih lanjut terkait pemeriksaan tersebut. "Nanti updatenya akan kami sampaikan," tegasnya.
BACA JUGA:
Pemeriksaan ini dilakukan berkaitan dengan munculnya nama Marzuki Alie dalam sidang mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono. Selain nama politikus Partai Demokrat tersebut, nama lain yang disebut dalam persidangan tersebut adalah Pramono Anung yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Kabinet.
Penyebutan nama keduanya ini terjadi saat jaksa KPK membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) milik Hengky Soenjoto yang merupakan kakak dari Hiendra Soenjoto pada persidangan dengan terdakwa Nurhadi dan menantunya, Riezky Herbiyono yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 11 November lalu.
"Saya pernah dimintai tolong oleh Hiendra agar disampaikan ke Marzuki Alie agar disampaikan ke Pramono Anung, Menteri Sekretaris Negara (Sekretaris Kabinet) saat itu agar penahanan Hiendra ditangguhkan," kata Wawan saat membacakan BAP tersebut dalam persidangan.
Hiengky, sambung Wawan, mengklaim adiknya cukup dekat dengan Marzuki Alie dan Hiendra pernah meminta tolong kepada politikus Partai Demokrat ini untuk membantu perusahaannya agar tidak pailit dan bantuan sebesar Rp6 miliar diberikan.
Tak hanya itu, setelah pailitnya perusahaan tersebut, Hiendra bersama Marzuki membentuk perusahaan bernama Intercon. Saham perusahaan ini kemudian dibagi dua dengan persentase 45 persen milik Marzuki sementara sisanya menjadi milik Hiendra. Namun, karena Hiendra tak mampu membayarkan hutang tersebut akhirnya saham perusahaan ini dimiliki oleh Marzuki.
Sebelumnya, terungkap dalam dakwaan, Hiendra menyuap Nurhadi dan Riezky sebesar Rp45,7 miliar guna mengurus perkara antara PT MIT dengan PT Kawasan Berikan Nusantara (BKN) yang berkaitan dengan gugatan perjanjian sewa menyewa depo kontainer milik PT KBN seluas 26.800 meter persegi di wilayah KBN, Marunda, Jakarta Utara.
Dalam dakwaan yang sama, JPU juga mengungkap uang suap yang diterima Nurhadi dan menantu dari Hiendra juga digunakan untuk memenangkan perkara melawan Azhar Umar dari PT KBN. Saat itu, Azhar menggugat Hiendra atas perbuatan melanggar hukum yang di antaranya terkait dengan akta Nomor 116 tertanggal 25 Juni tentang Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT MIT.
Akibat perbuatannya itu, Nurhadi dan Rezky kemudian didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 54 ayat 1 KUHP.