Bagikan:

MEDAN - Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada enam tokoh termasuk Sutan Mohammad Amin Nasution. SM Amin Nasution merupakan gubernur Sumatera Utara di masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. 

Terkait penganugerahan gelar pahlawan nasional, sejarawan dari Universitas Sumatera Utara (USU), Budi Agustono mensyukurinya. SM Amin di matanya adalah sosok pejuang dan pemikir. 

"Karena saat muda dia bergabung banyak organisasi. Dia pernah masuk Jong Sumatra, kemudian dia masuk Gerindo. Gerindo ini salah satu partai politik bangsa pada waktu itu  yang cukup radikal, saya kira anti kapitalis waktu itu," ujar Budi kepada wartawan, Selasa, 10 November.

Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU ini menjelaskan, SM Amin saat masuk ke organisasi politik, ikut memperjuangkan kemerdekaan bangsa, terutama masyarakat Sumatera Timur. 

"Pada waktu itu Sumatera Timur yang mengalami proses kekuasaan asing yang memporak-porandakan struktur masyarakat Sumatera Timur waktu itu," jelasnya. 

Selain berorganisasi, SM Amin juga aktif menulis. Dari tulisannya itu, SM Amin berjuang membebaskan bangsa dari kolonialisme terutama pada awal abad 20.

"Dia produk awal abad 20 karena lahir tahun 1905 pada saat Hindia Belanda pada waktu itu mengalami proses perubahan luar biasa sebagai akibat diperkenalkannya pendidikan oleh pemerintah Belanda pada waktu itu," katanya. 

"Jadi dengan pendidikan yang dimilikinya, dia menjadi seorang aktivis pergerakan. Dia tidak ingin menjadi pegawai pemerintah karena dia tahu betul kalau bangsanya pada awal abad 20 mengalami proses keterbelakangan," lanjut dia. 

Budi menuturkan, dengan melakukan aktivitas politik itu, SM Amin menjadi sosok yang dan sangat berperan besar dalam membangkitkan dan menghidupkan nasionalisme untuk memperjuangkan pembebasan bangsanya dari cengkraman asing. 

"Jadi dengan rekam jejak SM Amin tak mengherankan dia mendapatkan anugerah sebagai pahlawan," sebutnya. 

Karier politik SM Amin terus berlanjut, pada tahun 1947 ketika merdeka. Dia diangkat jadi gubernur pertama Sumatera Utara. 

"Tahun itu tahun yang sangat penting bagi Sumut, karena saat itu Sumut mengalami proses dekolonisasi sekaligus juga mempertahankan kemerdekaan dari keinginan kembali kekuasaan asing Belanda yang ingin mencaplok kembali Indonesia dan Sumut," papar Budi. 

Budi menjelaskan, pada tahun itu, Sumatera Timur mengalami proses kemerdekaan  mengalami banyak persoalan. Disamping ada persoalan internal yang belum selesai sebagai republik baru, SM Amin juga dihadapkan adanya keinginan kekuasaan asing untuk merampas kembali lewat aksi polisional. 

"Bayangkanlah ketika republik muda sedang mengalami penyesuaian sebagai bangsa merdeka lalu berhadapan dengan situasi internal terutama persoalan ekonomi dan politik yang belum kuat sebagai republik baru. Ditambah asing yang ingin menjajah kembali Sumatera Timur," jelasnya. 

Di tengah kemelut politik yang luar biasa waktu itu hingga berdampak kehidupan ekonomi yang morat-marit karena situasi politik, SM Amin sebagai gubernur menyelesaikan persoalan struktural.  

"Ini kontribusi besar SM Amin untuk bangsa dan rakyat Sumatera Utara," lanjutnya. 

Dalam sejarahnya, Budi mengatakan jika SM Amin tidak meninggalkan jejak fisik perjuangannya. 

"Saya kira tidak ada, seorang pahlawan tidak meninggalkan fisik, tapi pemikiran dan tindakan dan kebajikan serta pengabdian. Jadi saya kira ini non material yang ditinggalkan pahlawan karena pahlawan tidak meninggalkan fisik,kecuali kalau pusara pasti setiap pahlawan punya," tuturnya. 

"Kalau pahlawan pada masa itu punya harta benda dari mana diambil. Karena pada masa wakaf hidupnya bukan mencari harta tapi ingin memerdekakan bangsa," sambung Budi. 

Upaya Menengahi Konflik Aceh

Selain sebagai aktivis dan gubernur, SM Amin diceritakan Budi sebagai sosok Problem Solver. Budi bercerita mengenai usaha SM Amin saat menengahi pertikaian antara Aceh yang diinsiasi Daud Beureueh dengan pemerintah pusat. 

Pada saat peristiwa itu, kata Budi, SM Amin menulis tentang perkembangan Aceh di tahun 1950-an. Konflik itu terjadi akibat Daud Beureueh ingin merdekakan Aceh yang bertikai dengan pemerintah pusat berkaitan ekonomi dan politik. 

"Jadi dia seorang peace maker, orang yang sering memikirkan perdamaian, itu terbukti pada saat tahun 1950-an itu dia melakukan itu, menulis persoalan aceh yang pelik dan mencoba menyelesaikan konflik. Dia gubernur yang berbuat. Ini kontribusi besar SM Amin untuk menyelesaikan persoalan daerah dan pusat," jelasnya. 

Setelah SM Amin ditetapkan menjadi pahlawan nasional, ada pekerjaan rumah yang harus dikerjakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut. Pemprov Sumut dimintanya untuk menggali pemikiran SM Amin. 

"Karena pemikirannya sangat luar biasa lintas batas Sumut, bahkan nasional. Karena dia penulis buku yang sangat produktif saat dia jadi Gubernur Sumut," ujarnya. 

Menurut Budi, Sumut masih belum mengoptimalkan pendekatan dengan pikiran pahlawan nasional. Menggali pemikiran SM Amin, kata Budi adalah hal  mendesak yang harus dilakukan Pemprov Sumut. 

"Itu harus dilakukan oleh Pemprov untuk menggali pemikiran SM Amin sebagai pahlawan nasional. Ini sangat mendesak agar kita masyarakat Sumut tahu pemikiran SM Amin luar biasa," kata Budi.