JAKARTA - Komisi IX DPR mendukung rencana Pemerintah terkait moratorium pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia menyusul pelanggaran kesepakatan perekrutan pekerja asal Indonesia.
"Otoritas Malaysia terus melakukan pelanggaran kesepakatan perekrutan pekerja asal Indonesia dengan menggunakan sejumlah saluran perekrutan," kata Wakil Ketua Komisi IX DPR, Melki Laka Lena, Jumat 15 Juli.
Padahal, Malaysia dan Indonesia sebelumnya telah menyepakati menggunakan sistem satu kanal atau One Channel System untuk penempatan tenaga kerja. Melki menilai, pelanggaran tersebut mencederai kerja sama kedua negara.
"Dan tentunya berpotensi melanggar hak pekerja dan mengancam keselamatan para pekerja Indonesia yang bekerja di Malaysia," ucap Melki Laka Lena dalam keterangan tertulisnya.
Pada bulan April 2022, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah meneken nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) tentang penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia Sektor di Domestik di Malaysia. Ada lima kriteria yang harus pihak Malaysia penuhi dalam mempekerjakan TKI.
Salah satu kriteria dalam MoU tersebut yakni memastikan penerapan Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) efektif sebagai satu-satunya mekanisme yang diakui secara hukum untuk merekrut, menempatkan, dan mempekerjakan TKI di Malaysia. Perjanjian itu juga memastikan bahwa mekanisme perekrutan TKI lainnya tidak diperbolehkan.
“Malaysia harusnya menghormati perjanjian kedua negara, yang dibuat untuk meningkatkan perlindungan pekerja Indonesia,” ucap Melki.
BACA JUGA:
Komisi IX DPR yang membidangi urusan Ketenagakerjaan itu pun mendorong agar Pemerintah bersikap tegas terhadap Malaysia atas pelanggaran ini. Sebab cara-cara yang digunakan negeri Jiran tersebut, menurut Melki, akan menyulitkan Negara dalam memantau dan melindungi pekerja migran.
“Apalagi selama ini banyak terjadi kasus tragedi kemanusiaan yang dialami oleh pekerja migran di Malaysia. Hak-hak pekerja migran untuk memperoleh upah sesuai ketentuan dan perlindungan di Malaysia juga masih jauh panggang dari api,” ungkap Legislator dari Dapil NTT II itu.
Melki mengingatkan, Malaysia bergantung pada jutaan tenaga kerja asal negara lain karena negara tersebut menghadapi kekurangan tenaga kerja. Khususnya untuk sektor perkebunan dan manufaktur yang tidak diminati oleh penduduk setempat sehingga sebagian besar mengambil tenaga kerja dari Indonesia, Bangladesh, dan Nepal.
“Seharusnya Malaysia memahami kebutuhan tenaga kerja asal Indonesia dengan mematuhi ketentuan yang ada,” kata Melki.
Menurut data Bank Indonesia (BI) dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), pada tahun 2021 ada sekitar 1,62 juta orang atau 50,03% dari total pekerja migran Indonesia yang berada di Malaysia.
Malaysia pun menjadi negara penempatan pekerja migran Indonesia yang memiliki jumlah pengaduan terbesar mencapai 403 atau sekitar 23,7% dari total pengaduan 1.702 di tahun 2021. Sementara BI mencatat pengiriman uang (remintasi) dari TKI di luar negeri sebesar USD 2,28 miliar atau setara dengan Rp 33 triliun (kurs Rp 14.496) pada kuartal II tahun lalu yang berkontribusi sekitar 10% dari nilai APBN.
Melki menegaskan, perjuangan TKI harus sebanding dengan perlindungan negara. Komisi IX memastikan akan terus melakukan pengawasan demi kesejahteraan pekerja migran Indonesia.
“Jasa para pahlawan devisa yang sangat besar perlu diimbangi dengan perlindungan para pekerja migran, utamanya yang bekerja di Malaysia,” imbaunya.
“Oleh karenanya, Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis demi melindungi para pekerja migran,” tutup Melki.