“Angin Surga” di Tengah Badai PHK

02 April 2025, 11:00 | Tim Redaksi
“Angin Surga” di Tengah Badai PHK
Foto Karya Luthfiah VOI

Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah memutuskan mencabut moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja alias PHK yang menerpa dunia ketenagakerjaan tanah air.

Bisa dibilang, keputusan pemerintah ini bak “angin surga” di tengah meningkatnya angka pengangguran di Indonesia. Bagaimana tidak, setidaknya ada 600 ribu kuota yang disiapkan dengan jaminan keamanan lebih dari kerajaan Arab serta potensi devisa yang masuk mencapai Rp31 triliun!

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia dalam pernyataan media pada 15 Maret lalu mengungkapkan, sekitar 60.000 pekerja dari 50 perusahaan kehilangan pekerjaan pada bulan Januari dan Februari. Sedangkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat PHK pada dua bulan awal 2025 mencapai 40 ribu orang.

Sepanjang 2024 total PHK tembus 250 ribu pekerja. Data itu didapatkan Apindo dari BPJS Ketenagakerjaan yang mencairkan jaminan hari tua (JHT) dan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).

Pusat Penelitian Badan Keahlian Parlemen Indonesia memperkirakan bahwa 280.000 pekerja akan diberhentikan pada 2025, menjadikannya angka tahunan tertinggi sejak pandemi Covid-19, yang mengakibatkan 3,6 juta orang kehilangan pekerjaan pada 2020.

Masih hangat di ingatan publik, setelah Sritex memecat 12 Ribu karyawannya karena jeratan utang, PT Yamaha Music Indonesia menyusul dengan memberhentikan 1.100 pekerjanya imbas penutupan pabrik. Yamaha Music menutup dua pabrik piano di kawasan Jakarta dan Bekasi. Belum selesai, berita PHK kembali menyeruak dari pabrik Sanken yang memecat sedikitnya 400 pekerjanya mulai Juni 2025. Tahun lalu, Sanken yang berlokasi Kawasan Industri MM2100 Cibitung, Bekasi, telah mem-PHK 500 pekerjanya. PT Tokai Kagu, PT Danbi Internasional Garut, dan PT Bapintri juga ikut menyumbang angka PHK dengan angka kisaran 3.200 pekerjanya.

Dari angka PHK yang banyak dan terus bertambah, bisa jadi membuka keran pengiriman PMI ke Arab Saudi merupakan salah satu solusi instan. Secara hitung-hitungan jika dibandingkan, angka PHK yang melanda sejumlah perusahaan sekitar 14 ribu pekerja, masih bisa ditutup dengan 600 ribu kuota pekerja migran yang akan dikirim kembali ke Arab Saudi setelah moratorium dicabut.

Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding. (dok KemenP2MI)

Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding. (dok KemenP2MI)

Harapan di Bawah Raja Baru

Menteri Perlindungan Pekerja Migran, Abdul Kadir Karding mengakui, pemerintah akan mencabut moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi pada tahun ini disertai klaim bahwa Arab Saudi membuka kuota untuk 600.000 pekerja Indonesia, terdiri atas 400.000 di sektor domestik, sebagai pekerja rumah tangga dan 200.000 lainnya untuk pekerja formal dengan jaminan gaji lebih dari Rp6,5 juta untuk setiap pekerja.

Dia mengungkapkan, bila semua berlangsung dengan lancar, maka pengiriman PMI akan dimulai pada Juni mendatang. Pemerintah Indonesia juga berharap, melalui pencabutan moratorium pengiriman PMI tersebut bisa meraup remitensi (pengiriman uang dari PMI ke dalam negeri) sebesar Rp31 triliun.

“Di bawah raja baru, perlindungan mereka lebih baik. Lebih maju. Mereka, misalkan, menjamin gaji di angka 1.500 riyal atau setara dengan Rp6.538.500. Ada perlindungan dalam konteks asuransi kesehatan, jiwa, dan ketenagakerjaan. Yang menarik lagi setiap selesai kontrak dua tahun, untuk orang Indonesia dikasi bonus sekali umrah,” terang Karding.

Dia juga memastikan kesiapan aplikasi bernama Sistem Komputerisasi untuk Pelayanan Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (SISKOP2MI) untuk orang-orang yang berminat untuk jadi pekerja migran yang diluncurkan sejak tahun 2022. Seperti diketahui, sistem tersebut dikembangkan oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang bertransformasi menjadi Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di bawah pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto.

Sistem ini mengintegrasikan akses ke lowongan kerja, pendaftaran dan seleksi, hingga perlindungan untuk calon pekerja migran. Menurut Karding, sistem ini akan diintegrasikan dengan layanan Musaned milik Kementerian Sumber Daya Manusia dan Pembangunan Sosial Arab Saudi yang diluncurkan pada tahun 2016 untuk mempertemukan para pencari pekerja dengan perusahaan atau individu yang membutuhkan pekerja.

“Ada 25.000 pekerja migran setiap tahunnya yang masuk secara tidak prosedural ke Arab Saudi setelah moratorium diberlakukan pada 2015. Untuk mencegah hal itu, perbaikan tata kelola secara umum integrasi data telah dilakukan. Majikan yang mau ambil pekerja harus daftar di Musaned. Mereka harus punya deposit untuk gaji,” beber Karding.

Dilansir media Saudi Gazzette, pada awal bulan Maret 2025, platform Musaned telah mencatatkan 852.660 kontrak baru dan 1.214.259 CV pekerja. Jumlah entitas bisnis yang berinteraksi di platform ini telah mencapai 4.048.420 pengguna. Platform ini juga memungkinkan para pekerja domestik untuk berganti majikan tanpa persetujuan majikan sebelumnya. Pada 2021, Arab Saudi memperkenalkan reformasi ketenagakerjaan yang mengendorkan restriksi bagi para pekerja migran dan memungkinkan pekerja mengganti pekerjaan tanpa persetujuan dari pemberi kerja sebelumnya.

Tantangan Besar

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh di Balai Kota Solo, Jawa Tengah, Kamis (5/9/2024). Foto: Rizki/ https://emedia.dpr.go.id/

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh di Balai Kota Solo, Jawa Tengah, Kamis (5/9/2024). Foto: Rizki/ https://emedia.dpr.go.id/

Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi menilai, pencabutan moratorium PMI ke Arab Saudi tidak akan menimbulkan masalah selama seleksi dilakukan dengan ketat. Tapi di sisi lain, pemerintah juga harus memikirkan untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, sebagai simbol investasi. “Saat gelombang PHK massal terjadi di dalam negeri, hal ini bisa dilihat sebagai indikasi bahwa penciptaan lapangan kerja di dalam negeri masih menjadi tantangan besar,” imbuhnya.

Idealnya, lanjut politikus dari Fraksi Partai NasDem itu, kebijakan tenaga kerja harus berfokus pada dua hal sekaligus, yakni membuka akses bagi mereka yang ingin bekerja di luar negeri dengan perlindungan maksimal serta memperkuat industri dan investasi dalam negeri agar mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja.

"Jika hanya mengandalkan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri tanpa diimbangi dengan upaya nyata menciptakan lapangan kerja dalam negeri, tentu kebijakan ini dapat dipandang sebagai jalan pintas,” tukas Nurhadi.

Anggota Komisi IX DPR RI lainnya, Ashabul Kahfi mengungkapkan, pencabutan moratorium pengiriman PMI memang bisa membuka peluang bagi tenaga kerja yang berminat dan memiliki keterampilan yang sesuai. Pasalnya, selama berlangsungnya moratorium, banyak tenaga kerja Indonesia yang kehilangan kesempatan bekerja secara legal di luar negeri.

Tapi, hal terpenting adalah pemerintah harus bisa memastikan bahwa hak-hak dan perlindungan para PMI ini benar-benar dijamin, baik saat mereka berada di negara tujuan maupun setelah kembali ke tanah air. “Saya memahami kekhawatiran masyarakat terkait isu PHK massal di dalam negeri. Saya sepakat bahwa pemerintah harus mengedepankan langkah-langkah strategis untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri,” tukasnya.

Politikus dari Fraksi PAN ini menegaskan, kebijakan mengirimkan PMI tidak boleh menjadi solusi jangka pendek, tetapi harus diiringi dengan upaya serius untuk mengembangkan sektor industri, UMKM, pertanian modern, dan digitalisasi ekonomi agar peluang kerja di Indonesia semakin luas. “Pemerintah juga harus memastikan bahwa PMI yang berangkat adalah tenaga kerja yang memiliki keahlian dan mendapatkan pelatihan yang memadai agar bisa bersaing di pasar kerja internasional,” tambah Kahfi.

“Komisi IX DPR RI juga meminta agar kebijakan pencabutan moratorium ini tidak hanya berorientasi pada angka, melainkan harus berbasis pada perlindungan tenaga kerja dan peningkatan kualitas hidup mereka,” sambungnya.

Adapun anggota Komisi IX DPR RI Arzeti Bilbina meminta agar pencabutan moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi tidak mencakup seluruh sektor. Menurutnya, pemerintah seharusnya mempertahankan moratorium pengiriman PMI untuk sektor domestik atau pekerja rumah tangga.

Meski telah ada evaluasi terhadap Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) yang diklaim lebih aman, dia mengingatkan bahwa penyelesaian kasus-kasus pelanggaran terkait PMI harus tetap menjadi perhatian dan tidak boleh diabaikan. Dia menegaskan, meski ada potensi manfaat ekonomi dari penempatan PMI ke luar negeri, tapi keselamatan PMI lebih penting.