Bagikan:

JAKARTA - Direktur Informasi dan Komunikasi Polhukam, Kementerian Kominfo, Bambang Gunawan mengatakan, isi konsensus yang disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-31 ASEAN di Manila, Filipina, pada 14 November 2017 berupaya meningkatkan perlindungan terhadap pekerja migran dan keluarganya di kawasan ASEAN.

Hal itu disampaikan dalam sambutannya pada acara Webinar Series #4 ASEAN Talk dengan tema 'Peran ASEAN dalam Pelindungan dan Promosi Hak Pekerja Migran di Lombok, Rabu, 13 Juni kemarin.

"Isi konsensus secara garis besar mengatur hak pekerja migran, kewajiban negara pengirim, serta kewajiban negara penerima pekerja migran,” jelasnya dalam pesan elektronik yang diterima di Jakarta, Kamis, 14 Juli.

Negara pengirim bertanggung jawab memberikan program orientasi sebelum keberangkatan yang didalamnya berisi tentang hak asasi manusia, hak ketenagakerjaan, kondisi pekerjaan, hukum, sosial, budaya dan sebagainya terkait negara penerima serta bertanggung jawab atas pemenuhan syarat kesehatan bagi pekerja migran.

“Negara penerima pekerja migran juga harus bertanggung jawab menjamin HAM dan hak dasar serta martabat pekerja migran dengan memberikan perlakuan yang adil dan mencegah perlakuan yang kasar, kejam, dan siksaan,” ujarnya.

Bambang mengatakan, besarnya arus migrasi tenaga kerja antarnegara-negara ASEAN adalah peluang kerja sama ekonomi yang baik apabila ditangani dengan baik.

Sejauh ini menurutnya, upaya penyelesaian masalah tenaga kerja migran ini cenderung dilakukan dalam skala nasional oleh masing-masing negara anggota ASEAN. 

“Penguatan ekonomi yang sudah disepakati sejak 2017 serta semangat kolaborasi antar pemerintah negara-negara ASEAN dengan membangun sistem dan penyelarasan kebijakan lintas negara yang komprehensif tentu akan bisa menjadi payung besar pelindungan bagi para pekerja migran di ASEAN,” jelas Bambang.

Acara juga diawali oleh sambutan Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerjasama, dan Sistem Informasi, Universitas Mataram, Yusron Saadi.

Yusron mengatakan bahwa topik yang diangkat dalam webinar kali ini sangat tepat karena menurutnya masyarakat di daerah perlu diberi pemahaman tentang hak-hak pekerja migran dan peran ASEAN dalam pelindungan pekerja migran.

Ia juga berharap kampus sebagai pencetak para cendekiawan akan berperan besar dalam membantu mensosialisasikan atau meningkatkan pemahaman masyarakat tentang bagaimana hak-hak pekerja migran, dan lembaga apa saja yang bisa membantu mereka dalam mencari penghidupan yang lebih baik.

“Upaya-upaya sosialisasi seperti ini sangat penting dilakukan terutama di Lombok atau NTB yang memang pekerja migrannya cukup banyak. Umumnya mereka berpendidikan rendah, banyak yang di bawah umur, serta banyak cerita yang menyedihkan, memilukan. Semoga itu tidak terjadi lagi di masa-masa yang akan datang, antara lain melalui kegiatan-kegiatan semacam ini,” tutupnya.

Narasumber yang hadir antara lain Deputi Bidang Penempatan dan Pelindungan Kawasan Asia dan Afrika, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Agustinus Gatot Hermawan, Direktur Kerja Sama Sosial dan Budaya ASEAN, Direktorat Kerja Sama ASEAN, Kemenlu, Yuliana Bahar, Dosen Program Studi Hubungan Internasional dan Peneliti Pusat Studi ASEAN, Universitas Mataram, Mega Nisfa Makhroja, dan Sekretaris Nasional Buruh Migran, Savitri Wisnuwardhani.

Pada pemaparannya, Agustinus Gatot Hermawan mengatakan bahwa terdapat sembilan program prioritas BP2MI, diantaranya pemberantasan sindikat penempatan ilegal PMI, penguatan kelembagaan dan reformasi birokrasi, menjadikan PMI sebagai VVIP, modernisasi sistem dan pendataan secara terintegrasi, pembebasan biaya penempatan, pembenahan tata kelola PMI, penguatan skema, pemberdayaan ekonomi dan sosial, serta peningkatan sinergi dan koordinasi.

“Dalam perubahan fundamental, paradigma TKI diubah menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Hal ini tidak hanya sekedar berubah nama, namun diharapkan juga bisa membuat PMI yang lebih mandiri, berjaya, dan tentu mempunyai kompetensi, serta dalam mencari pekerjaan tidak dimobilisasi oleh para  calo maupun sponsor,” jelasnya.

Agustinus menambahkan bahwa BP2MI harus memberikan perlindungan pekerja migran yang paripurna, yakni perlindungan yang diberikan sejak sebelum PMI berangkat ke luar negeri, selama di luar negeri, maupun setelah di luar negeri. Menurutnya hal ini harus meliputi aspek jaminan perlindungan sosial, hukum dan ekonomi.

Sementara itu Direktur Kerja Sama Sosial dan Budaya ASEAN, Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri, Yuliana Bahar mengisi sesinya dengan menjelaskan mengenai sektor ketenagakerjaan di ASEAN yang merupakan salah satu sektor yang dibahas pada sektor kerja sama sosial budaya ASEAN. Dalam hal ini terdapat 3 pilar yakni, pilar politik dan keamanan, pilar kerja sama ekonomi dan pilar kerja sama sosial budaya.

Ia juga berpendapat bahwa salah satu tantangan utama dalam upaya perlindungan PMI di kawasan ASEAN tidak lepas dari situasi dan dampak berkelanjutan pandemi Covid-19. Karena menurutnya pandemi menghadirkan tantangannya sendiri bagi pelindungan WNI. 

“Untuk itu tiga fokus utama diplomasi pelindungan sangat diperlukan yakni percepatan transformasi digital, meningkatkan infrastruktur dan SDM pelindungan, serta pengembangan kerangka hukum dan kerja sama ditingkat nasional maupun internasional,” paparnya.

Sebagai Dosen Hubungan Internasional dan Peneliti Pusat Studi ASEAN di Universitas Mataram, Mega Nisfa Makhroja mengungkapkan jika sebagai salah satu institusi regional, ASEAN memiliki peran untuk mewadahi negara-negara yang ada di kawasan ASEAN agar dapat menciptakan equality, kesejahteraan dan lainnya. Selain itu, ASEAN juga berupaya mengintegrasi pendidikan agar menciptakan peluang bagi mobilisasi high skill labor.

“Bagi mahasiswa peluang pekerja migran di ASEAN sangatlah besar, salah satunya dengan jalur pendidikan, khususnya pendidikan tinggi adalah ‘jalan ninja’ menjadi pekerja migran yang profesional,” ujarnya.

Pada sesi berikutnya, Savitri Wisnuwardhani menjelaskan tentang peran ASEAN dalam perlindungan dan promosi hak PMI. Seperti upaya-upaya dalam mewujudkan perlindungan bagi para PMI, organisasi PMI di luar negeri yang turut berpartisipasi dalam perwujudan perlindungan, termasuk dalam penanganan  Covid-19.

Savitri juga mengungkapkan bahwa, ada beberapa permasalahan lain yang dialami oleh para PMI antara lain, data PMI yang belum ada, materi pendidikan dan pelatihan tidak sesuai, pemalsuan dokumen kerja, terbatasnya pelayanan publik, sistem penanganan kasus belum terintegrasi, dan lain sebagainya.

“Harapannya, pekerja migran bisa lebih memahami hak-haknya,” jelasnya.

Selain pemberian materi dan tanya jawab oleh narasumber, acara juga dimeriahkan oleh kuis berhadiah yang diikuti oleh seluruh peserta webinar yang berasal dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum.

Webinar Series #4 ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait hak-hak pekerja migran dan upaya pelindungan yang dilakukan oleh negara-negara di kawasan ASEAN. Diselenggarakan secara hybrid (luring dan daring) di Ruang Sidang Senat Lt. 3, Gedung Rektorat, Universitas Mataram, dan dapat disaksikan secara live melalui aplikasi Zoom Meeting dan kanal YouTube Ditjen IKP Kominfo.