Bagikan:

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan dikategorikan sebagai pekerja migran Indonesia (PMI), sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang PMI adalah konstitusional atau tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Oleh karena itu, MK menolak permohonan uji materi Perkara Nomor 127/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) Imam Syafi’i, seorang pelaut Untung Dihako, dan Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia Ahmad Daryoko.

“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Ruang Sidang Pleno MK RI, Jakarta, Jumat 29 November, disitat Antara.

Pada perkara ini, para pemohon mendalilkan bahwa pengaturan kategori pelaut sebagai pekerja migran mengabaikan eksklusivitas dan pelindungan khusus yang diberikan kepada pelaut berdasarkan Konvensi Ketenagakerjaan Maritim (MLC) 2006 yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 15 Tahun 2016.

Imam Syafi’i dan Untung Dihako mendalilkan pemaknaan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan sebagai PMI menyebabkan segala aturan terkait pelaut mengikuti aturan dan ketentuan pekerja migran. Hal ini dinilai berpotensi merugikan karena aturan dan ketentuan pelaut diatur secara khusus berdasarkan ketentuan konvensi internasional.

Selain itu, keduanya juga mendalilkan bahwa pengelompokan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan sebagai PMI menyebabkan kewenangan pengawasan serta penerbitan izin perekrutan dan penempatan pelaut menjadi kewenangan Kementerian Ketenagakerjaan. Seharusnya, kata mereka, hal itu merupakan kewenangan Kementerian Perhubungan.

Sementara itu, Ahmad Daryoko mengaku dikriminalisasi akibat keberlakuan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 18/2017. Karena dikategorikan sebagai PMI, perizinan berusaha bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan wajib memiliki Surat Izin Perekrutan PMI (SIP2MI) yang diterbitkan oleh Kepala Badan Perlindungan PMI (BP2MI).

Ahmad Daryoko mengaku dikriminalisasi karena belum memiliki SIP2MI tersebut. Ia ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan pada rumah tahanan negara oleh Penyidik Ditreskrimum Polda Jawa Tengah dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang.

Terkait dalil para pemohon tersebut, MK menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia menganggap pelindungan yang menyeluruh bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan sangat penting, sehingga pemerintah meratifikasi MLC 2006 melalui UU 15/2016.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan, istilah “pelaut” dan “awak kapal” dalam MLC 2006 telah terakomodasi dalam Pasal 4 ayat (1) huruf C UU 18/2017, serta diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.

Dalam konteks ini, kata Enny, UU 18/2017 dan PP 22/2022 menggunakan istilah “pelaut awak kapal” dan “pelaut perikanan” dalam satu kesatuan karena berbagai dokumen yang terkait dengan pelaut dan awak kapal sebagai pekerja migran juga menggunakan istilah “pelaut”.

Menurut Mahkamah, pada prinsipnya UU 18/2017 dibentuk untuk mengatur pelindungan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan yang selama ini belum ada kejelasan pengaturan perlindungannya.

Dengan demikian, Mahkamah menilai pelindungan yang diberikan kepada pelaut awak kapal dan pelaut perikanan dalam UU 18/2017 tidak hanya mencakup pemenuhan hak-hak dasar sebagai pekerja, tetapi juga meliputi pengaturan yang lebih rinci dan komprehensif mengenai kondisi kerja yang aman, jaminan sosial, serta hak-hak lainnya.

“Setelah mencermati secara keseluruhan UU 18/2017 telah ternyata undang-undang a quo sesungguhnya bersesuaian dengan prinsip-prinsip pelindungan pelaut sebagaimana diatur dalam MLC 2006,” kata Enny.

Enny mengatakan adanya norma Pasal 4 ayat (1) huruf C UU 18/2017 justru untuk memberi pelindungan yang mencakup hak-hak dasar serta memberi kepastian hukum dan pelindungan yang komprehensif bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan Indonesia sebagai pekerja migran.

“Dengan demikian, dalil para pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata dia.