JAKARTA - Tersangka penyuap eks komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, yaitu Harun Masiku masih menjadi buronan. Sejak ditetapkan sebagai tersangka, keberadaannya belum diketahui secara pasti.
Layaknya permainan petak umpet, Harun Masiku bersembunyi entah di mana dari kejaran KPK. Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigarasi Kemenkumham, menyebut jika Harun sudah meninggalkan Indonesia sejak 6 Januari atau dua hari sebelum operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
Jejak terakhir yang diketahui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menunjukkan Harun masih berada di Singapura dan belum juga kembali. Hanya saja, rumor beredar kalau Harun telah kembali ke Indonesia dan bersembunyi dari kejaran KPK.
Muncul anggapan bila jejak keberadaan Harun Masiku yang kini menjadi perbincangan publik, sengaja disembunyikan. Apalagi kasus ini juga menyeret salah satu petinggi PDI Perjuangan, tempat Harun bernaung.
"Mengapa HM (Harun Masiku) disembunyikan? Jika dilihat dari konstruksi kasusnya, ada beberapa hal yang janggal selain rangkaian usaha melakukan PAW, yaitu WS (Wahyu Setiawan) tidak kenal dengan HM, uang suap kurang lebih Rp900 juta dan janggal juga HM sebagai caleg mempercayakan uang suap Rp900 juta hanya kepada pegawai sekretariat atau pembantu sekjen," kata pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar dalam pesan singkatnya kepada VOI, Senin, 20 Januari.
BACA JUGA:
Dosen Hukum Pidana di Universitas Trisakti itu menduga, Harun sengaja disembunyikan mengingat banyak kejanggalan dalam kasus suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024. Belum lagi dugaan soal keberadaan Harun yang disembunyikan oleh pihak-pihak tertentu yang berkaitan juga dengan kegagalan penyelidik KPK saat memeriksa salah satu ruangan di kantor DPP PDIP.
Kejanggalan lainnya yang dilihat Fickar mengenai kasus ini adalah dugaan Harun Masiku sudah mengetahui akan operasi senyap KPK bakal dilakukan. Sehingga, jika caleg yang maju dari Dapil Sumatera Selatan I itu tidak disembunyikan, maka keberadaan Harun bisa menguak keping kejanggalan dalam peristiwa OTT KPK yang masih abu-abu ini.
"Keterangan HM akan membuka dan menjelaskan peristiwa yang sesungguhnya," tegas Fickar.
Selain menyebut ada upaya penyembunyian Harun, Fickar juga menilai, PDIP pun dilingkupi perasaan panik mengingat kasus ini juga menyerempet nama Hasto Kristiyanto. Hal ini tampak dari dibentuknya tim hukum dan berusaha melakukan pembelaan termasuk melakukan pelaporan terkait operasi senyap itu.
"Pembelaan tim menyasar kemana-mana, misalnya melaporkan penyelidik KPK ke Dewan Pengawas, padahal mereka sedang melakukan kerja yudisial sesuai fungsinya. Selain itu, seorang anggota DPR nenguasai sprinlidik secara illegal, melaporkan pers secara pidana, dan lainnya. Tindakan tindakan ini seolah olah menggambarkan 'kepanikan' PDIP," ungkap Fickar.
Dari segala dugaan yang disebutkannya, Fickar kemudian meminta jangan sampai karena PDIP berusaha menyelamatkan seseorang kemudian merugikan semua pihak.
"Upaya menyelamatkan seorang yang rusak, yang terjadi justru akan merusak partai, pers, dan KPK semuanya," ujarnya.
KPK kian melamban
Selain dugaan pihak-pihak yang sengaja menyembunyikan Harun Masiku dari kejaran KPK. Fickar juga berpendapat bahwa kinerja lembaga antirasuah periode saat ini justru telah berubah dengan berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2019.
"KPK memasuki era dengan sistem yang baru, jelas tidak independen, lamban, dan terkesan bisa dikendalikan pihak luar. Inilah hasil dari sistem yang melemahkan yang disebut presiden menguatkan," ungkap Fickar seraya mengkritik kinerja KPK yang tak lagi gesit dalam pengusutan kasus korupsi.
Pernyataan Fickar yang menyebut jika KPK kini lamban dan melemah, mungkin juga diamini oleh publik. Kendati demikian, Presiden Joko Widodo masih berkeyakinan jika lembaga antirasuah ini tidak akan melemah dalam pengungkapan kasus korupsi.
Apalagi, di awal tahun sudah ada dua operasi senyap yang dilakukan oleh lembaga yang dipimpin oleh Firli Bahuri cs ini. "Buktinya saya sudah sampaikan KPK melakukan OTT, ke bupati dan KPU meskipun Komisonernya masih baru, Dewasnya masih baru," kata Jokowi saat itu kepada wartawan di Istana Kepresidenan, pada Jumat 17 Januari lalu.
Meski meyakini KPK masih ganas, tapi, Jokowi mengamini soal adanya pekerjaan rumah terkait aturan turunan dari UU baru KPK itu termasuk membuat atau memperbaharui aturan yang ada di dalamnya.
Namun sayangnya Jokowi enggan memberikan komentar lebih banyak. "Dan saya tidak mau berkomentar banyak, nanti dianggap melakukan intervensi," imbuh Jokowi.
Diberitakan sebelumnya, KPK telah menetapkan eks komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebagai tersangka penerima suap terkait penetapan anggota DPR RI periode 2019-2024. Dia ditetapkan sebagai penerima suap, bersama Agustiani Tio Fridelina (ATF) yang merupakan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang merupakan orang kepercayaannya.
Adapun pemberi suap adalah Harun Masiku (HAR) yang merupakan caleg dari PDI Perjuangan di Pileg 2019 dan Saeful yang disebut pihak swasta namun diduga menjadi salah satu staf petinggi partai tersebut.
Dalam kasus ini, Wahyu disebut meminta uang operasional sebesar Rp900 juta untuk mengubah hasil pleno KPU terkait PAW anggota DPR RI untuk menggantikan Nazarudin Kiemas yang merupakan caleg PDIP dari Dapil Sumatera Selatan I yang meninggal dunia.